RSS

Pages

Kamis, 03 Desember 2009

Broken Heart

Aku tak ingin mengakui, lebih mudah menutupi,
Menyembunyikan kekosongan dan sakit hati,
Menangis, bukan tersenyum lagi.
Tak ingin kuhadapi kenyataan ini,
Hidupku yang penuh kepedihan hati.
Ingin kupulihkan luka hatiku,
Untuk kembali tersenyum lagi.
Aku merasa dilupakan, dikhianati dan sendirian,
Tanpa sedikit pun pengampunan,
Tanpa seorang pun sebagai teman.
Aku tak ingin mengakui,
Sayap-sayapku tak bisa terentang lagi,
Kebahagiaanku telah mencair,
Menjadi air mata dan entah apa lagi.
Sukar bagiku menutupi kenyataan ini,
Harapan-harapanku tak lagi berarti,
Berubah menjadi kekecewaan di hati,
Maka kutundukkan kepala dan menangis sendiri.

Antara Tak Mungkin Memiliki dan Tak Mungkin Melepas

Dibatas penatku, aku ingin kau ada di sini
Bersama melewati malam
Melukiskan rindu dalam sebuah sentuhan
Mewujudkan cinta dalam sebuah ciuman
Hingga tidak lagi tersisa keraguan
Yang ada hanya desahan nafas dan cucuran peluh
Sebagai bukti dari bertumpuknya rindu dalam bentangan waktu

Dibatas malamku, aku masih di sini
Menunggu dalam kesendirian
Menggantungkan harapan pada sebuah kemustahilan
Menatap impian pada sebuah keajaiban
Dapatkah sesuatu yang tak mungkin menjadi mungkin?
Sesuatu yang membuatku terpuruk dalam kebimbangan
Antara tak mungkin memiliki dan tak mungkin melepas

Arrivederci, Amante

WAKTU itu kau berkata, “Semua orang harus mengalami ini, sekali dalam hidupnya.” Waktu itu, aku tak tahu kalau yang kau maksud bukan cuma keindahan alam kota Roma dan Venezia, dan bukan juga pertandingan sepak bola yang seru antara AS Roma melawan Lazio. Tapi yang kau maksud adalah perasaan ini. Perasaan yang masih tetap ada, apapun yang terjadi, meski setahun sudah berlalu. Perasaan itu tetap ada untuk selamanya.
Kadang-kadang aku sangat merindukanmu. Aku ingin menggapai dan menyentuhmu. Aku ingin terbang dan menjadi bintang di langit untuk menemanimu. Juga, aku ingin mengucapkan kata-kata yang dulu tak pernah sempat kuungkapkan padamu.
Arrivederci, amante!

Saat aku pulang dari kuliah fotografi, hari sudah menjelang senja. Untuk menyingkat waktu aku memilih mengambil jalan pintas melewati Villa Borgese, taman utama kota Roma. Taman ini sangat indah dan merupakan kebanggaan warga Roma seperti diriku, tentu saja selain tim kesebelasan AS Roma dan Lazio yang bermarkas di ibukota Italia tersebut. Aku tersenyum ketika teringat kalau hari Minggu akan ada derby antara dua kesebelasan tersebut yang tentu akan ditunggu-tunggu pencinta sepak bola. Ya...beginilah laki-laki Italia. Ada dua hal penting dalam hidupnya. Sepakbola dan wanita. Dan ngomong-ngomong tentang wanita, diatas jembatan berdiri seorang gadis yang luar biasa cantiknya.
Aku tertegun. Untuk pertama kalinya aku melihat sosok gadis yang begitu mempesona. Matanya yang menyorot lembut pada angsa-angsa yang berenang di danau dan rambut hitamnya yang panjang melambai-lambai tertiup angin, dilatar belakangi suasana senja temaram membuat sosoknya itu menjadi semakin menarik. Seperti sebuah karya seni.... Tiba-tiba aku teringat pada tugas yang diberikan Profesor Tachinardi tadi. Sebagai bahan ujian semua murid-muridnya diharuskan mengumpulkan sejumlah foto yang nantinya akan dinilai kearstistikannya. Aku tersenyum lebar. Jika dihadapan kita ada sebuah karya seni yang menarik, kenapa kita mesti susah-susah lagi mencari yang lain. Kuambil kamera yang selalu kubawa di ransel dan memfokuskannya pada sosok gadis tersebut. Untung Profesor Tachinardi juga menyarankan agar selalu membawa kamera, karena menurut Profesor objek yang menarik itu sering datang tak terduga. Dan ternyata kali ini ia benar. “Grazie, Prof!” bisikku lirih.
Aku sudah mengambil beberapa gambar, tapi keinginan untuk melihat lebih dekat membuatku menyetel kamera sehingga bisa menangkap gambar wajah gadis itu lebih dekat lagi. Saat hendak menekan tombol kamera, aku tertegun. Incredibile! Tidak mungkin! Tadi sekilas aku melihat seberkas air menetes dari mata indah itu! Apa yang membuatnya menangis? Ini benar-benar tak masuk akal. Di sini, di kotaku yang terkenal indah dan romantis itu, aku melihat seorang gadis menangis sambil menatap angsa-angsa yang berenang di bawahnya.
Dengan cepat aku memasukkan kamera dan mulai mendekati gadis itu. Gadis itu mirip seperti kebanyakan gadis Italia lainnya, tapi ada sesuatu yang membuatnya nampak berbeda. Sepertinya ada cahaya gaib yang menyinari wajah dan kulitnya sehingga bersinar seperti marmer. Karena aku begitu terpesona oleh kecantikan alami gadis tersebut, tanpa sadar aku terus memandanginya dan tidak bisa melepaskan pandangan dari sosoknya.
Rupanya gadis itu menyadari kalau ada yang mengawasinya, karena ia pun berpaling mencari sumber kehangatan yang dirasakannya. Kami saling bertatapan untuk beberapa lama. Aku tersenyum. Gadis itu tidak mengatakan apa-apa. Hanya menatap. Dengan matanya yang besar dan indah, gadis itu menatap tanpa berkedip padaku, kemudian ia berkata lirih, “Ini adalah taman, signor. Apakah anda selalu datang ke sini dan menatap wanita?”
Dengan cepat aku tersadar dari pesona itu dan menyahut, “Saya minta maaf atas kelancangan saya, signorina, tapi saya begitu terpesona oleh kecantikan Anda, saya pikir saya sedang berada di museum, memandang maha karya Leonardo Da Vinci.”
Gadis itu menerima pujianku dengan sikap malu. Sambil menyembunyikan wajahnya ia tersenyum. “Grazie.” ia menjawab dengan lirih.
Aku terus menatap gadis itu, dan ketika ia mendengar gadis itu mengucap terima kasih, mataku langsung menatap ke bibirnya. Lagi-lagi aku terpesona. Begitu terpesonanya sehingga aku ingin sekali menikmati rasa bibir itu bila disentuh oleh bibirku. Sial, pikiran itu mesti dibuang jauh-jauh dari otakku, makiku kesal. Aku pun mengalihkan pandanganku pada matanya yang hitam dan bening. Oh Dio, aku ingin sekali menyentuh mata itu! Tanpa sadar tanganku terulur dan ketika aku sadar, sudah terlambat untuk menghentikannya. Untuk mengalihkan perhatiannya, tangan itu kemudian kuarahkan ke rambutnya.
“Ada sesuatu di rambutmu,” ujarku. Dio, rambutnya juga halus dan harum. Rasanya aku tidak sanggup menahan keinginan untuk menyurukkan wajahkku ke dalam rambut yang tebal itu.
Gadis itu terkejut dan terlihat panik. Dengan sekali sentak ia berpaling dan berlari menjauh.
Aku terkejut dan mencgahnya. “Tunggu, saya belum tahu nama Anda!” teriakku. Tapi percuma, gadis itu sudah menghilang ditelan keremangan senja.

Sial, sial! Aku terus mengomel sambil berjalan menyusuri jalan yang terkenal itu menuju Villa Borghese. Lagi-lagi kesiangan, dan kali ini aku terancam tidak ikut ujian pada jam pertama. Aku terus berjalan dengan langkah panjang dan ketika sampai di jembatan, aku terkejut ketika tiba-tiba seseorang berbalik dan menubrukku. Aku sudah bermaksud kembali mengomel ketika kemudian aku melihat siapa yang telah menubrukku itu. Gadis yang kemarin! Dan sekarang rambutnya diikat ke belakang, rupanya ia berjaga-jaga dari angin nakal yang kemarin berhasil membuat rambutnya berantakan. Sayang, ia juga memakai kacamata hitam untuk menutupi matanya. Jadi aku tidak bisa melihat matanya yang indah itu. Tapi selebihnya, ia masih tetap sama. Masih mempesona seperti kemarin.
“Hallo,” sapaku sambil menebar senyum maut. Aku sudah mulai lupa kalau saat ini aku sudah sangat terlambat sekali untuk kuliah. Ah, persetan dengan kuliah! Keberuntungan seperti ini tidak akan terjadi dua kali dalam sehari. “Rupanya kita ditakdirkan untuk bertemu kembali ya?” ujarku berusaha bersikap ramah.
Gadis itu masih diam tak bergeming.
“Jangan takut, saya bukan orang jahat dan tidak akan menyakiti Anda.” Aku melirik brosur dan peta yang dipegang gadis itu. Oh, jadi dia bukan orang asli Roma. Apa dia kesini untuk berlibur?
“Anda belum pernah ke Roma sebelumnya?”
Ketika gadis itu tidak juga menjawab, aku berkata dengan setengah kesal. “Jika Anda tidak mau bicara, anggukan kepala sekali untuk ya, dua kali untuk tidak.”
Gadis menatapku sekilas, kemudian ia tersenyum. Senyum yang begitu luar biasa. Rasanya senyum itu pasti sanggup melelehkan salju sekalipun. Tapi sayang disini tak ada salju, sehingga aku tidak bisa membuktikan kebenarannya.
“Maaf, tapi saya tidak kenal Anda,” jawabnya lirih.
“Namaku Pier. Pier-luigi Mattarese. Aku berumur dua puluh empat tahun dan tercatat sebagai mahasiswa untuk jurusan fotografi.” Aku mengangkat kameraku untuk menjelaskannya. “Aku bukan termasuk pemuda berandalan, tidak merokok ataupun minum alkohol, dan menurut kebanyakan teman-temanku aku termasuk cowok yang ganteng. Satu lagi, aku sangat suka nonton sepak bola dan makan es krim berlapis kacang almond bakar.”
Gadis itu tertawa pelan. Saat melihatnya tertawa, aku serasa ikut terseret ke dalam pesonanya.
“Dan kalau boleh tahu namamu siapa, signorina? Atau aku mesti menebak sendiri?”
“Rossana Beaumont,” jawabnya sambil menerima uluran tanganku.
Tangannya terasa lembut dalam genggamanku. “Anda bukan orang Italia?” tebakku penasaran.
“Bukan. Aku orang Amerika.”
Aku mengerutkan kening heran. “Non e possibile. Tapi kau lancar berbahasa Italia ...”
“Nenekku yang mengajarinya. Dia orang Italia dan tinggal di Roma sebelum menikah dengan kakekku.”
“Oh pantas. Pasti wajah Italia-mu juga diturunkan dari nenekmu.”
Wajah gadis itu memerah untuk sesaat.
“Baiklah, jadi kau kesini untuk liburan?”
Dia mengangguk. “Aku ingin melihat-lihat kota Roma.”
Aku melihat suatu kesempatan dan tanpa berpikir panjang lagi aku langsung berkata,”Jika kau butuh seseorang untuk mengantarmu berkeliling kota Roma, aku bersedia. Aku mengenal kota ini seperti aku mengenal diriku sendiri.”
“Terima kasih,” ujarnya dengan setengah ragu. “Tapi aku tidak ingin merepotkan ...”
“Aku tidak keberatan kok. Lagi pula tugas sekolahku mengharuskan aku untuk mencari objek foto yang menarik untuk dikumpulkan. Ya... katakanlah, sambil menyelam minum air.”
“Baiklah, aku senang kalau ada yang menemaniku. Tadinya aku bingung tidak tahu harus kemana.”
“Katakan saja, kemana kau ingin pergi, dan pasti aku akan mengantarmu dengan selamat.”
“Sebenarnya ada banyak yang ingin kulihat. Forum Roma, Basilika St. Peter, air mancur Trevi, Colosseum ...”
“Wow...wow...itu banyak sekali. Mungkin sehari tidak cukup untuk melihat semuanya. Bagaimana kalau hari ini kita melihat yang terdekat dulu, mungkin besok kita lanjutkan ke lainnya. Kau menginap di dekat-dekat sini?”
“Ya, di Villa Dolce far Niente.”
“Bagus. Jadi besok kita bisa kembali melanjutkan perjalanan kita, dan kita ketemu di sini saja. Setuju?”
“Setuju.”
“Dan sebelum memulai petualangan kita, ada baiknya kalau kita sarapan dulu.”
“Es krim berlapis kacang almond bakar?”
“Bukan. Terlalu pagi untuk makan es krim. Tapi kita minum capuccino saja.”
Aku mengajak Rossa menyusuri jalan di Via Cordotti dan tak lama kemudian kami tiba di coffe-bar, meja berpayung putih-merahnya tersebar di trotoar. Aku menuntun Rossa ke meja terdekat, lalu memiringkan payung itu untuk melindungi gadis itu dari sinar matahari. Entahlah, aku tidak tahu kenapa tiba-tiba saja aku mengulurkan tangan, dan melepas kacamata gelap Rossa dan menyelipkannya ke saku bajuku. Gadis itu nampak sedikit terperangah dengan kelakuanku yang tak diduganya.
“Kau memiliki mata paling indah yang pernah kulihat pada seorang gadis. Sayang kalau disembunyikan.”
Semburat merah langsung memenuhi wajah cantik itu, dan gadis itu menundukkan kepala untuk menyembunyikan rasa malunya. Untung cameriere - pelayan pria - bercelemek putih segera datang mencatat pesanan kami. Tak lama kemudian ia datang lagi membawakan kopi berbusa putih dan ditaburi cokelat, dan sepiring biskuit marzipan.
Setelah menyesap kopi dan meletakkan kembali cangkirnya dengan hati-hati di alas kainnya yang kecil, aku bertanya kepada Rossa,” Berapa umurmu Rossa?”
“Dua puluh,” sahutnya pelan.
“Dan orang tuamu mengijinkan kau sendirian ke Italia?”
Gadis itu menggeleng. “Tidak. Orang tuaku ikut bersamaku, tapi kami memutuskan untuk melihat-lihat kota Roma sendiri-sendiri. Aku ingin bebas melihat-lihat sambil membayangkan apa yang diceritakan nenek padaku.”
“Baiklah, sebelum hari semakin siang, kita berangkat saja sekarang,” ujarku sambil meletakkan beberapa lembar lira di meja.

Ternyata gadis itu sangat menyenangkan selama dalam perjalanan. Ia begitu lembut dan cantik, sampai-sampai membuatku lupa kalau seharusnya aku mesti masuk kuliah pagi ini. Aku juga lupa pada semua pelajaran dan tugas yang diberikan Profesor. Yang ada dipikiranku hanyalah sosok sempurna yang berada di sampingku. Bagaimana dia tersenyum, bagaimana cara dia tertawa sehingga menampakkan sederet giginya yang putih, atau bagaimana rambutnya menebarkan aroma mawar yang membuatku panas dingin. Sepertinya gadis itu telah merampas semua ingatannya dan menyihirnya agar selalu menuruti segala keinginannya. Jika ia menyuruhku menjadi katak, aku pasti akan bersedia melompat-lompat sepanjang jalan. Selama dua puluh empat tahun, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Benar-benar menakjubkan!
Dan bukannya memanfaatkan peluang dengan membuat foto untuk tugas kuliah, aku malah sibuk mengarahkan kameraku kearah gadis itu dan menghabiskan tiga rol film hanya untuk memotretnya. Ah, persetan dengan tugas itu, pikirku kesal. Masih ada waktu untuk memikirkan hal tersebut.
Setelah berjalan-jalan di reruntuhan forum yang berumput, yang nampak luar biasa tapi melankolis, kami menuju Colosseum yang dikelilingi bus-bus turis dan kios-kioas bunga serta kereta kuda berbaris.
“Kita naik carrozza untuk jalan-jalan berikutnya,” kataku pada Rossa. Ketika melihat gadis itu asyik mengamati barisan kereta kuda yang berwarna hitam, roda dan batang kekangnya di cat merah menyala, sedang kudanya memakai jerami dan telinganya mencuat dari lubangnya, aku segera menghilang menuju kios penjual bunga.
Melihat onggokan mawar merah, aku jadi tidak dapat menahan keinginanku lagi. Rossa tersenyum saat melihatku datang sambil membawa setangkai mawar merah yang sangat indah. Aku menjatuhkan ciuman ringan di bibir Rossa seraya menyerahkan mawar itu kepadanya.
Kusir kereta tersenyum menyaksikan adegan tersebut, mendesah berlebihan sambil meletakkan ibu jari dan jari telunjuknya di mulut dan meniupkan ciuman ke udara.
Wajah Rossa memerah seperti bunga mawar itu, dan mungkin wajahku juga demikian. Aku tidak perduli. Yang penting aku sudah bisa merasakan bagaimana rasa bibir itu di mulutku. Sayang, tadi hanya sekilas. Tapi meski sekilas, aku bisa merasakan kalau ciumannya ternyata lebih lezat daripada es krim berlapis kacang almond bakar.
Sambil berusaha meredakan debaran jantungku, aku mendudukkan Rossa di kereta dan memberikan perintah pada kusir yang masih tersenyum-senyum.
Kuda berderap, hampir menyenggol sebuah bus sebelum akhirnya berlari kencang. Kereta kuda itu membawa kami melewati pilar-pilar dan tangga-tangga besar marmer putih yang membentuk monumen Victor Emmanuel.
“Orang Roma menyebut ini kue pengantin. Betul ya?” tanya Rossa sambil menuding ke arah monumen tersebut. Aku berpaling dengan kaget. “Darimana kau tahu hal itu?”
“Kau lupa, nenekku asli orang Roma,” sahutnya sambil tertawa.
“Ah ya, aku lupa! Nenekmu tinggal bersamamu di Amerika?”
Rosa mengangguk. “Kami tinggal di Pennsylvania. Ia bertemu kakekku disini, tepatnya sih di jembatan di Villa Borghese.”
“Tempat kita bertemu dua kali,” komentarku sambil merenung. “Terus apa yang terjadi?”
“Waktu itu kakekku sedang kuliah di sini, dan sejak pertemuan pertama itu mereka sering berkencan. Nenek sering bercerita tentang tempat-tempat ini sejak aku kecil dan aku sudah terpesona dengan tempat ini bahkan sebelum aku melihatnya. Karena itu ketika aku punya kesempatan berlibur, tempat inilah yang menjadi pilihan utamaku. Aku ingin melihat sendiri tempat yang kata nenek sangat bersejarah baginya itu. Disini mereka sering menghabiskan waktu bersama sebelum akhirnya kakek lulus dan mesti pulang ke negaranya.”
“Bagaimana dengan nenekmu?”
“Oh, tentu saja kakek membawanya karena menurut cerita nenek, kakek tidak bisa lepas darinya barang satu menit pun. Mereka menikah di sana, dan ya akhirnya di sanalah nenek menghabiskan sisa hidupnya bersama orang yang dicintainya.”
“Kenapa kamu tidak mengajaknya kesini, tentu ia senang bisa melihat tempat-tempat yang bersejarah itu kembali.”
“Aku juga berharap begitu, tapi nenek sudah meninggal setahun yang lalu, dua bulan setelah kakek meninggal.”
“Aku menyesal,” ujarku pelan. “Padahal aku juga ingin bertemu dengannya.”
“Kamu? Untuk apa?”
“Ya untuk mengucapkan terima kasih, karena dengan ceritanya tentang kota Roma, aku jadi bisa bertemu dengan gadis secantik kamu. Terus apa lagi yang sering diceritakan nenekmu tentang kotaku.”
“Oh ya, nenek juga sering bilang kalau kebanyakan pria-pria Italia khususnya Roma itu perayu.”
Aku tertawa keras mendengar semua itu. “Dan tentunya kamu tidak percaya pada omongan itu kan?”
“Aku percaya, karena aku sudah melihat buktinya.”
Aku meringis mendengar kata-katanya.
Ketika kami sampai di Tiber, aku membayar kusir kereta dengan memberi tip cukup banyak kemudian menolong Rossa turun.
“Siap berjalan-jalan?”
“Ya, aku ingin meluruskan kakiku,” sahut Rossa.
“Jika kau mulai lelah, katakan saja, dan kita bisa naik taksi saat pulang nanti.”
Bagiku sisa siang itu berlalu dalam sebuah kaleidoskop penuh warna-warni, kesan, pemandangan, dan suara yang indah. Jam hampir menujukkan angka setengah tujuh ketika kami sampai di Via Veneto, dan menyusuri jalan yang terkenal itu menuju Villa Borghese.
Matahari masih bersinar tetapi telah kehilangan ketajamannya dan angin sejuk sore hari bergemerisik di antara dedaunan, menyebarkan aroma damar yang tajam dari pohon pinus payung yang berombak-ombak.
Kami berpisah di sana dan sepakat untuk bertemu esok hari, melanjutkan jalan-jalan kami. Saat melihatnya menghilang di keremangan senja, aku merasa ada sesuatu di hatiku yang turut hilang juga. Hari ini benar-benar menjadi hari terindah dalam hidupku.

Keesokan harinya aku menunggu kedatangan Rossa di jembatan. Hari ini kami sepakat melancong ke Basilika St. Peter di Vatikan. Sudah hampir setengah jam aku di sini, tapi Rossa belum juga nampak batang hidungnya. Dan ketika ia akhirnya muncul, wajahnya terlihat sangat pucat.
“Maaf, aku terlambat,” ujarnya lirih.
“Rossa, kau sakit? Kurang enak badan? Pusing? Flu? Ya, kan! Itu pasti karena kau kecapekan kemarin,” tebakku.
“Mamaku bilang aku harus istirahat hari ini. Aku tak boleh terlalu capek. Tapi aku ingin sekali melihat Basilika St. Peter. Lagipula aku tidak mau membuatmu menunggu.”
“Aku tak keberatan menunggumu,” ujarku sambil meraba dahinya. Sama sekali tidak demam. Malah dingin sekali. Bibirnya juga. Saat kusentuh dengan ujung jariku.
“Kau benar-benar tak apa-apa?” ulangku lagi.
Ia mengangguk pelan. “Aku baik-baik saja.”
“Kalau begitu, kita berangkat sekarang.”
Hari ini aku kembali berhasil mencuri beberapa foto dari Rossa. Mulai dari Rossa yang berdiri di samping air mancur Trevi, sampai pada saat gadis itu tengah berlutut di depan patung karya sang maestro Michael Angelo, La Pieta. Patung itu menggambarkan Bunda Maria yang tengah memanggku tubuh Putranya setelah diturunkan dari kayu salib. Sungguh karya yang menakjubkan. Aku dan Rosa sempat terkagum-kagum dibuatnya. Di St. Peter ini banyak sekali karya-karya indah dari pelukis-pelukis besar dunia diantaranya karya Raphael dimana pada bagian atas ia menggambar surga sedang dibawahnya menggambarkan dunia.
Dalam perjalanan pulang, aku mengajak Rossa mampir di Roberto’s, restoran kecil khas Italia. Restoran itu sederhana dan tenang. Setelah suasana hiruk-pikuk di jalan, interior restoran yang dikelilingi tembok-tembok berwarna sederhana itu terasa teduh dan menenangkan.
Seorang pelayan muncul membawa Fettucine ala Panna yang hangat, Permesan segar dan es krim berlapis almond bakar kesukaannya.
“Besok kau ingin melanjutkan perjalanan kemana?” tanyaku sambil menikmati pasta lebar dengan saus mentega dan krim yang lezat itu.
“Venezia,” sahut Rossa.
“Venezia?” Aku menatap Rossa dengan lembut. “Kota itu terkenal romantis. Tahu tidak kalau di sana ada sebuah jam besar. Kalau kita melintas di bawahnya pada jam dua belas malam, kita akan terkena panah cinta dan akan jatuh cinta dengan orang yang ada di samping kita saat itu.”
Aku mengamati rekasi gadis itu. “Kau takut jika kita lewat di sana?”
Rossa mendongak. “Takut pada apa? Pada kutukan itu?”
Aku mengangguk.
“Jika kutukan itu mengharuskan aku jatuh cinta padamu, kenapa aku harus takut?”
Aku mengulurkan tangan menyentuh pipinya yang lembut. Dengan lembut aku menarik wajahnya mendekat dan menciumnya. Begitu lembut dan mempesona. Tiba-tiba saja aku sadar apa yang kurasakan sejak kemarin. Aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta karena kelembutan dan pengertiannya. Seluruh perasaan dari lubuk hatinya yang terdalam serasa mengalir memasuki hatiku. Sekarang aku baru tahu apa dan bagaimana cinta itu. Lebih kuat dan lebih mendalam dari semua yang pernah kurasakan. Cinta benar-benar membuatku ketakutan. Takut kehilangannya.

Tiba di Venezia saat hari sudah menjelang senja. Kami naik gondola, sejenis perahu dengan bentuknya yang khas. Kami bersama-sama menyusuri lorong-lorong air di Venezia Piazzale Roma, bagian kota tua yang terendam air. Gondola itu dilayani satu awak dan dijalankan mirip menjalankan rakit, karena si awak tidak menggunakan dayung. Yang digunakan adalah sebatang kayu panjang untuk bertumpu pada dasar air atau tembok bangunan-bangunan di sekitarnya. Rute yang mereka lalui adalah perkampungan tua yang sebagian besar tidak berpenghuni. Kalaupun ada yang tinggal di gedung-gedung bertingkat 4 samapi 5 itu, mereka adalah awak-awak gondola yang banyak berkeliaran di sana.
Perjalanan ini terasa semakin romantis ketika pengamen-pengamen Venezia dengan gitarnya mengiringi kami dengan lagu-lagu tradisional. Aku tidak ingin semuanya berlalu dengan cepat.
“Tahu kenapa aku ingin ke Venezia dan naik gandola ini, Pier?” bisik Rosa ditelingaku
“Karena ingin menikmati suasana romantis bersamaku?” tebakku ngawur.
Rosa tersenyum. “Bukan. Tapi karena disinilah kakek mengucapkan cintanya yang pertama kali pada nenek dan melamar nenek untuk menjadi istrinya.”
Aku tersenyum dan menatap Rossa dengan lembut. “Aku juga sudah jatuh cinta padamu sejak aku pertama kali melihatmu berdiri di atas jembatan.”
“Jangan merayuku. Kita bahkan belum berada di bawah jam legendaris seperti yang kau bilang kemarin,” kata Rossa.
“Aku tidak butuh jam legenda itu hanya untuk mengatakan aku cinta padamu.”
Rossa tertawa. “Jadi legenda itu sama sekali tidak ada. Kau hanya membual. Benar kan?”
“Tidak juga,” kataku berkelit. “Lagi pula sekarang kan belum jam dua belas, jadi kita tidak bisa membuktikan kebenaran legenda itu.”

Sepulang dari naik gondola kami berjalan-jalan mengelilingi kota tua itu, sembari keluar masuk bangunan-bangunan tua yang dilindungi pemerintah. Ribuan merpati jinak di sekitar St. Marcus Square yang terletak di tengah-tengah bangunan anggun tadi, menarik perhatian Rossa dan ia berhenti sejenak untuk bersenda gurau dengan mereka. Malamnya kami melihat pesta kembang api dari sebuah kanal besar. Luar biasa indah, sampai-sampai tanpa sadar aku meneteskan air mata. Biasanya aku tidak pernah bersikap seperti ini. Tapi entahlah, mungkin karena suasana yang mendukung, atau mungkin juga karena di sampingku berdiri seseorang yang aku cintai. Rasanya ini sungguh menakjubkan.
“Hei, besok hari Minggu,” seruku tiba-tiba. Saat ini kami berada dalam kereta yang membawa kami pulang ke Roma.
“Memangnya kenapa kalau besok hari Minggu? Kau ada janji dengan seseorang?”
Aku menggeleng. “Bukan, tapi besok saatnya derby antara Roma melawan Lazio.”
Mata Rossa berbinar untuk sesaat. “Nenek sering bercerita tentang orang Italia yang tergila-gila pada sepak bola. Dari cerita nenek, aku jadi ikut-ikutan menggilai sepak bola sampai-sampai aku dulu ingin menjadi wartawan olah raga biar bisa melihat langsung pertandingan sepak bola. Biasanya kami hanya bisa menontonya lewat televisi.”
“Dulu? Kenapa kau katakan dulu? Apa sekarang keinginanmu itu sudah berubah?”
Rossa mengangguk.
“Lantas? Mau jadi apa kau sekarang?”
“Kembang api.” Rossa tertawa melihatku melonggo.
“Apa?” tanya heran.
“Aku ingin menjadi cahaya terang di langit,” gumam Rossa, dan tiba-tiba nada gembira dalam tawanya sirna. Tangan kami saling bersentuhan. Ia memegang tanganku dan tak ingin melepaskannya. “Tapi kau mesti janji untuk tidak menangis saat melihatku jadi kembang api, ya?”
“Kau melihatku menangis?”
Rossa mengangguk. “Besok, kau mau kan mengajakku nonton pertandingan itu?”
“Kau mau? Kalau kau mau, tentu saja aku akan mengajakmu. Kita pasti akan bersenang-senang di sana nanti.”

Pertandingan antara Roma melawan Lazio berlangsung seru. Kami semua menikmati pertandingan itu dengan gembira, terutama Rossa yang terlihat antusias mendukung Roma. Meski hasil akhirnya seri, tapi kami semua puas. Kami pulang naik mobil, yang memang sengaja kubawa karena jarak stadion yang lumayan jauh dari hotel tempat Rossa tinggal. Gadis itu terus berceloteh dalam berjalanan pulang sementara aku hanya mendengarkannya sambil menyetir.
Tiba-tiba Rossa merintih kesakitan. Wajahnya pucat sekali. Aku segera menepikan mobilku dan memegang dahinya.
“Kenapa, sayang? Apanya yang sakit?”
“Semuanya sakit,” ia mendesah. “Tapi sekarang sudah tidak lagi.” Suaranya melemah. Kuusapkan wajahku ke wajahnya yang begitu pucat dan dingin. Ia membuka matanya dan menatapku lekat-lekat, lalu mengangkat tangannya dan membelai wajahku. Matanya berkaca-kaca. Air mata pelan-pelan membasahi pipinya. Ia menarik wajahku dan menciumku, ciuman yang seakan menyatu dengan kepekatan udara malam dan denyut cahaya bintang di kejauhan.
“Aku mencintaimu, Pier,” ia berbisik. “Dan kau mencintaiku. Cukup sudah. Semua orang harus mengalami ini. Sekali dalam hidupnya.”
“Apa maksudmu? Rossa, katakan, apa maksudmu?” aku berteriak histeris, dan merangkulnya lebih erat. Embusan napasnya terasa di rambutku, tapi matanya terpejam. Dengan memeluknya aku dapat mendengarkan tarikan napasnya dan merasakan kehangatan serta keindahan cintanya. Aku mencoba untuk mengembalikan suaranya, agar tahu apa yang dimaksudnya. Tapi sia-sia, yang kudapat cuma senyuman yang membuat wajahnya sedikit cerah.
Aku menjerit ketakutan.
Dalam perjalanan menuju hotel dan saat memanggil kedua orang tuanya, aku merasa seperti robot. Tubuhku kaku dan hanya diam terpaku, saat melihat kedua orang tua Rossa sibuk mengangkat tubuh ringkihnya dan melarikannya ke rumah sakit. Entah, saat sosok-sosok yang berlarian itu menjauh, aku yakin kalau inilah terakhir aku melihat Rossa. Aku kehilangannya. Untuk selamanya.

Aku tengah berdiri di atas jembatan, dua hari setelah peristiwa tersebut. Dua sosok mendekat dan mengulurkan sebuah kotak padaku. Aku mendongak dan mendapati kedua orang itu adalah orang tua Rossa.
“Kau, Pier kan? Aku ingin berterima kasih ...”
“Dia bukan hanya sakit flu, kan?”
“Bukan. Tapi leukimia,” kata ayahnya dengan lirih.
“Bagaimana keadaannya?”
“Dia meninggal tadi pagi.”
“Tidak!” aku menjerit.
“Pier, dengar. Dengarkan aku. Rossa sangat mencintaimu. Itu semua ditulisnya dalam buku hariannya. Pertemuannya denganmu, saat-saat kalian bersama. Ia tahu apa yang bakal terjadi, dan dengan mencintaimu, sungguh sangat meringankan bebannya. Kami menemukan buku ini, di kamarnya. Menjelang hari-hari terakhirnya ia merasa sangat bahagia. Melegakan, bukan? Sesuatu yang manis untuk dikenang. Kau membuatnya bahagia. Terima kasih, Pier!”
Mereka menyodorkan kotak itu padaku dan memelukku erat, kemudian pergi dan meninggalkan aku sendiri. Bersama buku harian dan bayangannya.
Memabaca tulisannya membuatku sedikit tenang. Aku melihat cahaya terang, seperti yang dijanjikannya.
“Aku ingin menjadi cahaya terang di langit,” ia pernah mengatakan. “Janganlah menangis.”
Jangan menangis.
Ia tak ingin aku menjadi puing-puing kemalangan dan kepedihan. Ia ingin aku melihat cahaya terang di langit.

Rossa, beginilah caraku untuk menyatakan selamat berpisah kepadamu. Aku menceritakan hari-hari kita bersama.
Hari ini, setahun kemudian, aku kembali mengunjungi tempat-tempat kita menghabiskan waktu bersama. Aku ingin menghidupkan kenangan liburan dan cinta kita waktu itu.
Suatu hari nanti, mungkin aku juga akan menemukan seseorang lain. Kini, setidak-tidaknya, aku sudah tahu apa yang kucari. Aku tahu sekarang apa dan bagaimana cinta itu. Kau mengajariku begitu banyak. Cintamu tetap akan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidupku.
Aku mencintaimu. Aku selalu mencintaimu. Kau adalah cahaya terang di langitku.
Arrivederci, amante!

Seperti Apa Rasanya Jatuh Cinta

Seperti apa rasanya jatuh cinta?

Menyejukkankah?
seperti kabut tipis yang menyapu leher
mendinginkan bahu
meredakan keteganganmu?

Adakah cinta itu mencengkeram?
bagaikan genggaman yang tak mau lepas di sekujur jiwamu
senyummu dan air matamu
akal sehatmu dan emosi-emosimu?

Adakah cinta itu membawa getar-getar?
yang dimulai dari ujung kaki, dan merayap naik ke dada,
lalu ke tenggorokan, membuat napas tertahan,
hingga jeritan tak bisa lagi ditahan-tahan?

Adakah cinta itu menimbulkan kebingungan?
Apa aku mesti merasa begini?
Apa dia juga merasa begini? Kenapa dia memberiku harapan?
Mengapa sinar matanya membuatku begitu terpukau?

Katakan padaku ...

Apa setiap senyum, tatapan, dan pertemuan tak sengaja
merupakan janji untuk balas mencintai?
Bukan karena kau benar-benar berpikir demikian, melainkan karena kau perlu berpikir begitu,
agar supaya kisah cinta yang bak dongeng ini,
tidak memudar

Apa setiap percakapan
berhari-hari terpatri dalam ingatan?
Setiap adegan
jelas namun juga tak nyata
Diputar ulang dalam angan-angan?

Katakan padaku ...

Apa dia memenuhi pikiranmu
hari demi hari yang kian ditunggu
hingga segalanya kehilangan kilau aslinya saat dia tak ada
untuk memperindah harimu?

Apa setiap sentuhan penuh canda
membuatmu melayang ke angkasa seakan naik ke awan?
walau nyatanya tetap di daratan?
Apa setiap pelukan bersahabat
memaksa sudut-sudut mulutmu menjadi senyuman?

Mengapa lututku menjadi lemas
Dengan setiap sentuhan tanpa makna
Atau bahkan saat ia berada dekat denganku?

Katakan padaku ...

Apa perasaan ini lebih dari sekadar suka
atau keterpesonaan bodoh
saat dia bicara padamu
rasanya seakan dialah pasangan jiwamu
kala dia tertawa mendengar lelucon-leluconmu

“Kalau rasanya seperti cinta, berarti ini memang cinta, bukan?”

Katakan padaku ...

Sebab, tahu apa aku tentang cinta?
Aku cuma wanita biasa
aah ... aku baru sekali ini jatuh cinta

Bulan Perak

Sepulang dari kuliah malam, aku menyusuri jalan setapak sendirian. Suasana begitu temaram karena seperti biasanya lampu penerangan yang ada di gang ini hilang dicuri oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Hanya cahaya bulan yang keperakan yang membantuku melangkah tanpa harus tersandung batu yang memang banyak berserakan di sana. Hasil tes yang diumumkan di kampus tadi membuatku melangkah tanpa semangat. Nilai E, dan itu berarti aku mesti mengikuti ujian ulang. Aku mengumpat kesal. Jika semua ini baru sekali terjadi mungkin aku tidak akan sekesal ini. Tapi ini sudah ketiga kalinya dalam semester ini. Dan semua ini gara-gara cowok sialan itu. Dengan seenaknya ia pergi bersama para gelandangan yang menamakan diri seniman itu tanpa memberi kabar sedikit pun padanya. Sudah hampir tiga tahun berlalu, dan setiap hari aku tidak pernah berhenti untuk terus berharap. Aku percaya suatu hari ia akan muncul dan kembali padanya. Tapi belakangan aku mulai merasa putus asa. Dan itu membuat semangat belajarku ikut menurun. Banyak yang mengatakan aku bodoh karena mau menunggu seseorang tanpa kepastian selama tiga tahun, tapi aku tetap bertahan pada keputusanku. Dulu sebelum pergi aku dan Andrew telah berjanji untuk saling mencintai dan setia selamanya. Tapi mungkin selamanya itu terlalu lama buatku, pikirku bimbang.
Ketika kebimbangan mulai menyeruak di pikiranku, tiba-tiba aku melihat sebuah sosok. Sosoknya yang tertimpa cahaya bulan perak membuatnya nampak bagai sebuah lukisan Leonardo da Vinci. Dengan rambut agak panjang hampir menyentuh tengkuk dan tubuh jangkungnya, ia melangkah anggun dalam bayangan kegelapan disekelilingnya. Seperti pangeran yang muncul dari negeri kegelapan. Aku terpesona. Oh, bukan pada sosok menawan itu, tapi pada bunga edelweis yang ada dalam dekapannya. Pada siapa bunga secantik itu akan diberikannya? Pada seorang putri impian yang menantinya di taman dengan baju putih berumbai-rumbai? Atau pada seorang gadis manis yang selalu menatapnya dengan sorot penuh kerinduan? Ah, masa bodoh! Toh, bukan aku yang akan menerima bunga itu, pikirku kesal dan melanjutkan langkahku yang sempat terhenti tadi. Aku pasti terlalu banyak membaca cerita dongeng. Mana ada di jaman sekarang kisah pangeran dan putri seperti yang selalu ada di negeri dongeng.
Tapi aku tidak bisa melepaskan pikiranku dari sosok tersebut. Dan ketika seminggu kemudian aku bertemu kembali dengannya, aku jadi semakin penasaran dengan sosok misterius tersebut. Kehadirannya, meski hanya lewat sekilas di sampingku ternyata mampu membuat jantungku berdebar hebat. Untung tidak sampai copot..he..he.. Kali ini ia membawa seonggok bunga mawar pink yang harumnya masih membekas di benakku selama berhari-hari. Jika selama ini aku selalu kesal setiap kali pulang kuliah malam karena harus melewati gang sempit yang gelap, sejak bertemu dengannya aku jadi bersemangat. Ia selalu muncul setiap malam minggu dengan membawa bunga yang berbeda-beda setiap kali kami bertemu. Mulai dari mawar yang beraneka warna sampai pada violet, krisan, anyelir dan anggrek. Sejak dulu aku sangat tergila-gila pada bunga, karena itu aku sudah cukup senang melihat bunga-bunga yang dibawa cowok itu meski aku tahu bunga itu bukan untukku. Setidaknya aku bisa berkhayal suatu saat Andrew akan datang membawakanku bunga, meski itu hanya setangkai mawar merah.
Malam ini aku kembali menyusuri gang sempit yang merupakan jalan pintas menuju kompleks perumahan tempat tinggalku. Tapi tidak seperti biasanya, malam ini bulan perak nampaknya enggan menampakkan wajahnya. Ia memilih bersembunyi di balik awan yang menutupinya. Sambil memincingkan mata aku melangkah dengan hati-hati. Langkahku terhenti ketika aku menubruk sesuatu.
“Aduh, sialan!” makiku jengkel.
“Maaf.” Sebuah suara membuatku kaget. Ternyata yang kutubruk tadi adalah seseorang. Ketika aku melebarkan mata mencoba melihat siapa yang ada di hadapanku ini, tiba-tiba bulan muncul dan sinar peraknya membias pada sosok jangkung yang membuatku kembali tersentak. Ia adalah pangeran dari negeri kegelapan itu. Aku sudah hendak tersenyum minta maaf tapi segera urung ketika melihat sorot matanya yang begitu muram dan sedih. Ia menunduk, dan ketika aku juga ikut memandang ke bawah, tahulah aku kini mengapa ia menjadi sedih begitu. Bunga mawar merah yang dibawanya jatuh berantakan saat kami bertubrukan tadi. Aku segera berlutut dan memungut tangkai bunga mawar itu dan merangkainya membentuk sebuah onggokan.
“Maaf kalau aku telah menyebabkan bunga ini rusak!” ujarku sambil meyerahkan bunga itu padanya.
Ia menggeleng lemah. “Tidak apa-apa. Bunga itu juga sebenarnya akan aku buang!”
Aku membelalak kaget. “Bunga secantik ini akan kau buang? Kan sayang?”
Ia kembali menengadah menatapku. Setelah beberapa detik hanya diam memandangku, ia pun berkata, “Kalau kau mau, ambillah!”
“Tapi... tentunya bunga ini bukan sengaja diberikan untukku, kan? Kenapa tidak diberikan kepada yang berhak menerimanya?” tanyaku heran.
“Ia sudah punya orang lain yang memberinya bunga, dan yang pasti lebih bagus dari punyaku.”
Aku hanya bisa tertegun mendengar penjelasannya. Oh, jadi mata sesuram itu disebabkan karena ia patah hati. Tega sekali cewek yang menolaknya, padahal ia sudah berbaik hati memberinya bunga setiap kali ia datang. Kalau saja Andrew seperti dia, aku tentu tidak akan terpuruk dalam penantian tanpa ujung seperti ini. Aku menatap mawar merah dalam genggamanku. Hmm, harum sekali. Sayang kalau bunga secantik ini harus masuk tempat sampah.
“Baiklah, aku akan menerimanya! Terima kasih ya!” kataku yang dibalasnya dengan senyum tipis. Setelah itu ia pun berlalu dari hadapanku. Tapi baru beberapa langkah, ia berbalik dan bertanya padaku,” Boleh aku tahu siapa namamu?”
“Rossa,” sahutku sambil mengulurkan tangan ke arahnya.
Disambutnya uluran tanganku. “Alex,” balasnya memperkenalkan diri. “Nama yang bagus, cocok dengan bunga mawar itu !”
“Terima kasih,” ujarku dan tersenyum manis.
Ia menggangguk pelan. Dilepaskannya genggaman tangannya dan dalam sekejap ia menghilang ditelan kegelapan malam. Tinggal aku yang menggigil kedinginan di sini. Ya Tuhan, ini bukan hanya mimpi kan? Tapi jika ini mimpi, tolong jangan bangunkan aku sebab ini mimpi terindah dalam hidupku.
Sejak kejadian itu aku tidak pernah melihatnya lagi pada malam minggu. Aku jadi kehilangan sosoknya, juga bunga-bunganya. Aku selalu berharap dapat bertemu lagi dengannya, dan itu terwujud saat sepulang kuliah aku melihatnya berdiri di ujung jalan, seperti sedang menanti seseorang.
“Selamat malam,” sapanya sambil tersenyum.
Aku membelalak tak percaya dengan apa yang kulihat. “Hai,” ujarku setelah menemukan kesadaranku kembali. “Sedang apa di sini, menunggu seseorang?” Ketika melihatnya mengangguk, mendadak ada perasaan kecewa berkecamuk di hatiku. “Siapa?”
“Kau.”
Aku tersentak mendengarnya. “Jangan bargurau, ah!” elakku.
“Sungguh! Aku menunggumu. Aku ingin kita berteman, mau kan? Kulihat kau suka bunga sama sepertiku.”
Aku hanya diam tak bergeming. Kaget campur tak percaya dengan apa yang dikatanya.
“Kenapa diam, kau tidak suka bunga ya? Kalau begitu maafkan aku. Lupakan saja apa yang barusan kukatakan. Selamat malam, maaf sudah mengganggumu,” katanya sambil berbalik.
“Aku suka bunga,” ujarku setengah berteriak.
Cowok itu berhenti dan kembali menghadapku.
“Aku sangat suka bunga,” ulangku menyakinkannya.
Cowok itu tersenyum. “Aku punya kebun bunga. Kau boleh melihatnya jika kau mau.”
Aku membelalak kagum. “Sungguh? Kebun bunga sungguhan? Oh, tentu saja aku mau!”
Setelah beberapa kali bertemu dan ngobrol bareng tentang banyak hal, Alex akhirnya mengundangku untuk ke rumahnya dan melihat kebun bunga yang sering diceritaknnya. Minggu pagi sepulang dari gereja Alex menjemputku dan kami pun pergi ke rumahnya. Rumahnya tak jauh dariku meski tidak dalam satu kompleks perumahan yang sama denganku. Saat membelok menuju rumahnya, aku mulai merasa curiga karena aku dulu sering lewat jalan ini ketika hendak ke rumah Andrew. Dan saat kami berhenti di depan sebuah rumah, kekhwatiranku terbukti. Meski sejak tiga tahun ini aku tidak pernah lagi ke rumah Andrew tapi aku masih ingat betul dan tidak akan salah. Kami berhenti di depan rumah Andrew.
“Ada apa? Kau tidak ingin masuk?” tegur Alex melihatku hanya bengong dan termangu di pintu pagar.
Dari dalam rumah muncul wanita setengah baya yang begitu melihat sekilas langsung mengenaliku. “Hallo Rossa, apa kabar? Lama tidak pernah main-main kemari ya?”
Aku meringis. Rupanya ibu Andrew masih mengenaliku meski sudah lama aku tidak kemari. “Baik-baik saja, tante.”
Alex melongo. “Kok kalian sudah saling kenal?” tanyanya bingung.
“Tentu saja mama kenal Rossa, Al, bukankah dia pacar Andrew. Dia dulu sering kemari, tapi sejak adikmu pergi ia tidak pernah kesini lagi. Tante sampai kangen lho!”
Aku kembali meringis. Terbuka deh sudah semua rahasiaku. “Belakangan sibuk kuliah terus, tante,” belaku lirih.
“Andrew? Kau pacar Andrew?” Alex menatap Rossa tak percaya. “Tapi kenapa aku nggak pernah bertemu denganmu…”
“Saat itu kau masih kuliah di Bogor, Al,” mamanya menjelaskan.
Alex menggangguk mengerti. “Pantas kalau begitu,” gumamnya.
“Bagaimana kabar Andrew, tante?” tanyaku setengah berbisik.
“Yah, begitulah,” kata Tante Siska sedih. “Dia terlalu keras kepala. Dia ingin membuktikan pada semua orang kalau dia pasti akan berhasil menjadi seniman meski kami semua menentangnya. Kabar terkakhir yang kami dengar ia sekarang tinggal di Yogya. Kau mesti sabar ya, Ros? Tante yakin kok ia pasti akan pulang suatu saat nanti.”
Aku hanya bisa mengangguk pelan. Sanggupkah aku bertahan?

“Kenapa kau tidak bilang kalau kau punya adik yang bernama Andre?” tegurku begitu kami sudah kembali berdua.
“Kau sendiri tidak pernah bilang kalau pacarmu yang melarikan diri itu namanya Andre!” bantah Alex. “Baiklah, kita memang belum terlalu dekat sehingga masih ada yang belum kita ketahui tentang diri kita secara mendetail. Kalau memang ternyata pacarmu itu ternyata adikku, itu tidak akan mempengaruhi hubungan kita kan?”
“Tentu saja ada!”
“Maksudmu?”
“Kau pasti tahu dimana Andre sekarang. Kenapa ia nggak pernah menghubungiku, Al?”
“Ia keras kepala sama seperti aku. Mungkin ini memang sifat keluargaku, turunan dari nenek moyang kami.” Ia tertawa pelan. “Kau masih mencintainya, heh!”
Aku tersentak. Masihkah cinta itu ada setelah hampir tiga tahun dalam penantian tak berujung? “Mungkin,” sahutku pelan. Ia menatapku dengan heran atas jawabanku yang ragu-ragu. “Ketika ia pergi kami masih dalam status pacaran dan belum benar-benar putus. Dan selama ikatan itu belum berakhir aku...“
“Yang kutanya apa kamu masih mencintainya Rossa?” potong Alex yang membuatku kembali ragu. “Ya, kurasa aku masih mencintainya. Kalau nggak, untuk apa aku menunggunya selama hampir tiga tahun.”
“Baiklah kalau begitu, nanti kalau ia memberi kabar akan aku sampaikan kalau kau menunggunya. Selama ini ia selalu berpindah tempat, kami sendiri tidak tahu pasti keberadaannya yang tetap.”
“Bagaimana keadaannya?”
“Aku rasa baik, ia sering mengadakan pameran-pameran bersama seniman-seniman yang lain. Itu menurut ceritanya. Aku sendiri tak tahu pasti karena ia tidak pernah pulang. Ia keras kepala. Ia bilang baru akan pulang kalau sudah sukses, dan itu ditepatinya!”
Aku menelan ludahku yang tiba-tiba terasa kering. “Untuk itu ia memilih meninggalkanku. Ia selalu bilang kalau ingin menjadi pelukis.” ujarku lirih.
“Ia pasti kembali, percayalah! Sekarang kita teruskan rencana kita semula atau... kau sudah tidak berminat lagi melihat kebun bungaku.”
Aku tersenyum mendengar nada suara Alex yang kecewa. Kuraih tangannya dan melangkah masuk. “Tentu saja aku masih ingin melihatnya.” Sambil tertawa kami menuju kebun yang terletak di halaman belakang. Sebuah rumah kaca yang besar membuatku tercengang. Aku tidak mengira kalau kebun Alex sebegini besar dan terdapat macam-macam bunga di dalamnya.
“Wow, besar sekali! Kau benar-benar serius mengeluti bisnis bunga hias ini ya Al!”
“Pasti dong! Sejak dulu aku selalu menyukai tanaman terutama bunga, dan setelah lulus kuliah aku segera mempratekkannya. Hasilnya ya...inilah!”
“Bunga-bunga yang kau bawa setiap malam minggu dulu itu pasti dari sini, iya kan?”
Ia mengangguk. “Sayang Rieska nggak menghargainya,” ujarnya sedih.
“Sudahlah, Al. Kau kan sudah berjanji akan melupakannya, jangan sedih gitu dong! Suatu hari nanti kau pasti akan menemukan seseorang yang akan menggantikan tempatnya di hatimu. Aku yakin itu!”
“Kau benar, untuk apa mengingat masa yang sudah lalu. Sekarang kau boleh melihat-lihat, kalau ada yang kau suka, kau boleh ambil!”
“Sungguh!” teriakku tak percaya. “Wah bunganya cantik-cantik Lex! Kau sendiri yang merawatnya?”
“He-eh, dibantu mama dan dua orang yang bekerja sebagai tukang kebun.”
“Kau kenal Andre di mana?” kata Alex setelah beberapa saat kami hanya diam dan sibuk melihat-lihat bunga-bunga yang ada di sini.
“Kami teman semasa SMU. Oh ya, aku dulu sering kesini, tapi kita tak pernah bertemu.”
“Waktu itu aku sedang kuliah di Bogor dan baru dua tahun ini aku kembali ke sini.”
“Aku sama sekali nggak mengira kalau Andre itu ternyata adikmu. Kalian sama sekali nggak mirip sih, hanya mungkin sifat keras kepala kalian yang sama.”
“Ya, aku juga nggak mengira kalau cowok yang sering kau ceritakan itu adikku. Habis aku kan nggak tahu kalau ternyata adikku itu sudah punya pacar. Terus terang aku bangga sekaligus iri padanya karena ia punya seorang pacar yang cantik dan setia meski ia sudah meninggalkannya hampir tiga tahun.”
Aku membisu mendengar kata-kata Alex. Dan kebisuan itu akhirnya dipecahkan dengan suara guntur yang menggelegar. “Wah, mau hujan nih! Aku harus cepat-cepat pulang!”
“Bagaimana dengan bunganya ? Kamu tidak ingin membawanya pulang?”
Aku menggeleng. “Aku menyukai semua bunga-bunga ini, tapi ada satu yang tidak dapat kutemukan di sini padahal aku ingin sekali memilikinya.”
“Bunga apa itu?”
“Edelweis.”
“Tentu saja bunga itu tidak ada di sini, Ros. Bunga itu tumbuh di gunung dan kita mesti mendaki puncaknya dulu sebelum bisa mengambilnya. Dulu aku pernah mengambilnya sewaktu mendaki bersama kelompok pecinta alam kampus, tapi bunga itu sudah kuberikan pada Rieska.” Ia tertawa pelan. “Pasti sekarang bunga itu sudah masuk tempat sampah. Kau serius ingin bunga itu? Bunga edelwies itu tidak cantik dan harum lho, aku rasa mawar lebih cocok buatmu.”
“Sudah lupakan saja, tadi aku hanya menggodamu kok karena di kebunmu ini ada banyak bermacam bunga, dan aku sengaja mencari bunga yang tidak kau punyai. Yuk, aku pulang dulu!”

Aku tengah belajar di kamar ketika mama tiba-tiba muncul dari balik pintu. “Ada yang mencarimu !” kata mama setengah berteriak untuk mengalahkan suara Jon Bon Jovi dengan lagu Alwaysnya yang sengaja kuputar keras-keras. Aku bangkit dan mematikan tape. Tanpa diberitahupun aku sudah tahu siapa yang datang. Siapa lagi kalau bukan Alex. Selama ini kan hanya dia yang selalu datang kemari selain teman-teman kampusku. Tapi kalau kedatangannya pada jam-jam segini, aku menduga kalau itu Alex. Dan biasanya dugaanku selalu tepat.
“Hallo Al, ada perlu apa mencariku!” tegurku padanya yang sedang berdiri di teras membelakangiku. Lampu teras yang suram membuatku tidak melihat dengan jelas sosoknya. Ia berbalik dan aku terperangah. Ia bukan Alex, tapi ya Tuhan... Andre!
“Selamat malam Rossa,” sapanya lembut.
“Eh... se.. lamat... malam.” Mendadak aku jadi gugup dan tidak tahu apa lagi yang mesti aku katakan. Aku hanya berdiri dan mengawasi setiap detail tubuh Andre. Ia masih tetap jangkung -makanya ia sempat kukira Alex - tubuhnya agak lebih berisi dan lebih coklat. Mungkin karena sering berada di jalanan bersama teman-teman senimannya. Selebihnya ia masih tetap Andre yang dulu. Rambutnya juga tetap terpotong rapi tidak seperti kebanyakan seniman yang biasanya berambut gondrong. Malah Alex yang bukan seniman memanjangkan rambutnya sampai menyentuh tengkuknya. Ah, kenapa aku jadi membandingkan Andre dengan Alex sih!
“Apa kabar Ros?”
“Baik, bagaimana denganmu?” Ya Tuhan, ini pertemuan kami yang pertama sejak tiga tahun berpisah, masa hanya diisi dengan menanyakan kabar masing-masing. Kenapa hubungan kami menjadi kaku begini? Apa waktu bisa merubah hati dan perasaan seseorang?
“Duduk Ndre,” ujarku sambil menyilahkannya duduk di kursi teras.
“Bagaimana kuliahmu?”
“Baik, dan kau... kata Alex kamu sudah sukses dengan pameran lukisanmu.”
“Ya,” sahutnya pelan. “Kata Alex kau dan dia berteman.”
“Kami tidak sengaja bertemu. Karena sama-sama menyukai bunga akhirnya kami berteman. Memangnya kenapa?”
“Oh tidak, tidak apa-apa!” Ia terdiam dan suasana sunyi kembali. Aku mulai tersiksa dengan keadaan seperti ini. Seharusnya kami saling melepas semua kerinduan yang telah terpendam sekian lama ini, tapi yang kami lakukan hanya diam dan terus diam. Seolah kami sudah menjadi asing satu sama lain.
Keesokan harinya aku mampir ke rumah Alex untuk meminta bunga, karena hari ini aku ditugaskan untuk menghias gereja. Andre yang membuka pintu ketika aku mengetuknya.
“Hai, Alex ada?”
“Ia pergi ke Bogor, mengambil bibit bunga.”
“Oh, apa perginya lama?”
“Entah, ia tidak bilang akan pergi berapa lama! Kau hanya ingin... mencari Alex?”
“Sebetulnya iya, karena aku ingin meminta bunga darinya. Ia sudah berjanji kalau aku membutuhkan bunga untuk menghias geraja aku boleh minta padanya. Tapi karena ia nggak ada ya aku pulang saja.”
“Tunggu, kenapa tidak mengambilnya sendiri di kebun. Alex pasti tidak akan keberatan.”
“Tapi... “
“Sini, aku akan mengantarmu ke belakang.”
Sebenarnya aku sudah tahu jalannya, tapi kubiarkan Andre menunjukan jalan untukku. Aku memetik beberapa tangkai bunga mawar putih.
“Kau masih menyukai mawar ya?”
“Ya, karema mawar adalah bunga yang indah dan lagi... apa kau sudah lupa kalau namaku kan berarti bunga mawar.”
Andre tertawa pelan. “Ya, aku ingat.”
Tiba-tiba seorang gadis menerobos masuk dengan bergegas. “Dari mana saja sih kau, Ndre! Kau di cari mamamu tuh!” Kami segera berpaling pada pemilik suara. Dihadapan kami berdiri seorang gadis manis dengan rambut dipotong pendek sebatas bahu. Ia nampak terengah setelah habis berlari-lari. Sekilas aku melihat Andre nampak gugup, tapi ia segera mengatasinya dan mengenalkan kami.
“Rossa, ini Syena. Ia... sepupuku.”
“Oh, hai!” sapaku dan mengulurkan tanganku yang mendadak menjadi dingin dan kaku. Sepupu? Kenapa Alex tidak pernah cerita kalau mereka punya sepupu yang bernama Syena? Ah , sudahlah. Kenapa aku jadi memikirkan hal ini. Toh ini semua tidak ada hubungannya denganku.
Tapi meski sudah kucoba untuk tidak memikirkannya, aku masih juga merasa tidak tenang. Aku jadi malas untuk melakukan apa-apa selain duduk seharian di teras belakang rumahku. Aku hanya mengamati pohon-pohon cemara yang terus meliuk-liuk itu tanpa ekspresi. Langkah-langkah kaki yang mendekatiku pun tidak mampu mengusik perhatianku.
“Kata mamamu sudah beberapa hari ini kamu terus murung seperti ini. Ada apa Rossa?” Suara Alex dekat sekali di telingaku. “Apa kedatangan Andre tidak membuatmu senang? Oh ya, kata Andre kau sudah bertemu dengan Syena. Apa kemurungan ini disebabkan olehnya? Kau cemburu padanya?” Digenggamnya tanganku lembut. “Ayolah Rossa, masa kau harus cemburu pada sepupu kami itu. Ia datang dari Yogya dan bermaksud hendak menginap di sini beberapa hari.”
Aku mendongak menatap Alex. “Aku tidak cemburu padanya. Hubungan kami sudah retak sebelum aku bertemu dengan Syena. Ada yang salah dalam hubungan kami Al, dan aku tidak tahu yang salah itu apa.”
“Mungkin karena kalian sudah lama tidak bertemu, dan kalian butuh waktu untuk saling menyesuaikan diri lagi. Percayalah, semua akan beres kalau kalian mau saling mengerti dan bersama-sama memperbaiki hubungan kalian.” Aku tidak percaya yang dikatakan Alex itu benar, tapi saat ini hanya itu yang bisa membuatku sedikit merasa tenang.

“Rossa, ada telepon!” seru mama dari ruang tengah. “Dari Alex!”
Aku mengambil gagang telepon itu dari tangan mama. “Selamat ulang tahun.” Suara Alex sudah menggema sebelum aku sempat berkata hallo.
“Terima kasih Al, aku nggak ngira kau ingat ulang tahunku. Padahal aku kan cuma sekilas ngomong soal tanggal lahirku.”
“Tentu saja aku ingat. Soalnya kan ulang tahunmu pas hari Valentine, jadi mengingatnya gampang. Oh ya, Andre sudah ke rumahmu?”
“Belum memangnya kenapa?”
“Lho, apa ia nggak memberimu ucapan selamat? Gimana sih anak ini!”
“Belum, mungkin ia lupa Al! Tidak apa-apa kok!”
“Ya sudah, nanti aku yang bilang sama dia.”
Sorenya Andre datang dengan wajah bengkak dan ada bekas memar di pelipisnya. “Kenapa wajahmu Ndre?”
“Nggak apa-apa, habis jatuh. Cuma memar dikit,” ujar Andre. Ia mengulurkan tangannya yang sejak tadi disembunyikan di belakang tubuhnya. “Ini untukmu, selamat ulang tahun ya. Semoga panjang umur dan sukses selalu!” Aku terbelalak memandang onggokan edelweis yang dibawa Andre.
“Kau nggak suka ya? Tadinya aku mau membawa mawar karena biasanya kan kau suka mawar tapi...”
“Aku suka kok Ndre. Makasih ya?”
Andre sudah hendak melangkah pergi tapi aku berhasil mencegahnya. “Aku ingin bicara denganmu Ndre. Tentang hubungan kita.” Andre menghentikan langkahnya dan menatapku dengan gugup. Aku menggenggam erat edelwies di tanganku berharap disana aku menemukan kekuatan.
“Aku merasa hubungan kita tidak lagi sama seperti dulu. Seperti ada jarak tak terlihat yang membentang diantara kita.”
“Rossa, aku minta maaf...”
“Tidak perlu minta maaf. Nggak ada yang salah. Mungkin waktulah yang sudah mengubah hati dan perasaan kita menjadi beku. Kita seperti dua orang asing yang tidak saling kenal.”
“Rossa sebenarnya ada yang harus kukatakan padamu. Tapi aku takut mengatakannya.”
“Tentang Syena kan? Ia bukan sepupumu, aku sudah menduga hal itu! Kenapa mesti disembunyikan, Ndre?”
“Aku tidak mau menyakitimu. Aku sama sekali tidak menyangka kalau kamu masih menungguku setelah sekian lama. Kupikir kau akan mencari penggantiku karena kau seorang gadis yang cantik yang pasti banyak yang ingin menjadi pacarmu. Ketika aku datang dan Alex bilang kalau kau masih menungguku, aku merasa bersalah dan tidak ingin lebih membuatmu menderita dengan mengatakan kalau kepulanganku ini untuk minta ijin pada orang tuaku untuk menikah dengan Syena.”
Ada yang merebak hangat di susut mataku. “Kalau begitu selamat ya, semoga kalian bahagia!”
Andre menyentuh tanganku lembut. “Sekali lagi aku minta maaf, Rossa.”
“Aku memaafkanmu. Sekarang pergilah, kembalilah pada Syena, ia pasti cemas menunggumu.”
Setelah Andre pulang aku menelepon Alex. “Al, aku ingin bicara. Kita bertemu di rumahku.” Tanpa menunggu jawaban Alex aku segera menutup telepon dan menunggunya di teras. Tak sampai lima menit ia sudah datang dengan nafas terengah-engah. Ia pasti berlari dari rumahnya sehingga bisa sampai dalam waktu lima menit.
“Apa yang akan kamu bicarakan?” tanyanya dengan agak keheranan karena melihatku hanya diam membelakanginya. Aku menunjukkan onggokan edelweis yang sejak tadi kugenggam. “Andre tadi datang memberiku ini.”
“Oh ya, bagus kalau begitu. Bukankah kamu memang ingin edelweis itu?”
Aku menghirup nafas sebelum melanjutkan ucapanku. “Sebenarnya kau yang memberi edelweis ini bukan?”
Aku mendengar Alex tersentak. “Itu tidak benar, Andre sendiri yang...”
“Ia datang karena kau paksa, Al. Kau pergi bukan untuk mencari bibit, tapi untuk mendaki gunung mencari bunga edelweis ini.”
“Rossa aku... “
“Selama ini Andre hanya tahu kalau aku menyukai mawar, dan satu-satunya orang yang tahu aku ingin bunga edelweis adalah kamu.” Melihat Alex tidak menyahut aku kembali meneruskan,”Aku sudah tahu kalau Syena bukan sepupu kalian.”
“Rossa dengar dulu penjelasanku ... “
“Kenapa kau membohongiku, Al? Kau pikir aku akhirnya tidak akan tahu kalau ternyata Andre sudah mengkhianati cinta kami dengan berpura-pura kalau kepulangannya untuk menemuiku, heh!”
“Aku tidak ingin menambah kesedihanmu dengan kenyataan kalau penantianmu hanyalah sia-sia. Aku ingin melihatmu bahagia, itu saja. Selama ini kamu sudah sangat baik padaku dengan bersedia jadi temanku, mendengarkan semua keluhanku dan membantuku melupakan Rieska. Aku ingin membalas semua kebaikanmu padaku.”
“Dengan berbohong?”
“Rossa, maafkan aku. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi ketika Andre datang bersama Syena dan meminta ijin untuk menikahinya. Saat itu aku ingin sekali memukulnya karena sudah menyia-nyiakan seorang gadis yang begitu setia menantinya.”
“Dan kau berhasil memukulnya.”
“Ya... aku sudah tidak bisa menahan emosiku melihat ia sedang asyik dengan Syena sementara kau menunggunya untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Ia benar-benar keterlaluan!” ujarnya dengan kesal.
“Sebenarnya bukan hanya Andre yang telah mengkhianati cinta kami. Tapi aku juga. Aku menyukai bunga edelweis ini karena pada suatu malam aku melihat sebuah sosok yang membawa edelweis dalam dekapannya. Saat itu aku cemburu dan iri pada gadis yang akan menerima bunga itu. Sejak itu setiap malam minggu aku selalu pulang kuliah malam dan menunggu sosok itu lewat dan membayangkan kalau akulah gadis yang akan menerima bunga-bunga yang dibawanya.”
“Rossa...?”
“Kalau sebelum bertemu dengan sosok itu aku selalu merindukan kehadiran Andre, tapi sejak kejadian itu aku tidak lagi teringat padanya. Aku bahkan tidak ingat lagi kenapa aku mesti menunggunya. Untuk apa? Yang hadir dalam mimpiku tidak lagi bayangan Andre melainkan sosok itu. Aku sudah mengkhianati Andre jauh sebelum aku tahu kalau ia juga mengkhianatiku. Karena itu aku tidak kecewa ia datang bukan untukku, aku juga tidak merasa sakit hati kedudukanku dihatinya diganti oleh orang lain.” Aku berpaling pada Alex yang berdiri membelakangiku. Ia nampak sangat tampan di biasi oleh sinar lampu yang temaram. Rambutnya nampak agak berantakan mungkin karena tanpa sadar ia telah mengacak-acaknya, tapi itu malah membuatnya semakin mempesona. Dengan tersemyum aku menyentuh sehelai rambutnya yang jatuh menyentuh kening saat ia menunduk. “Kau ingin tahu siapa sosok itu? Sosok yang telah membuatku melupakan Andre?” bisikku lembut.
“Jika sosok itu adalah aku kau boleh mengatakannya, tapi jika bukan, jangan katakan karena akan membuatku sangat kecewa.” Ia meraih bahuku dan mendekapnya lembut. Aku merasakan suatu kehangatan disana. Kehangatan yang membuatku tidak ingin melepas pelukan itu. “Aku sudah menyukaimu sejak aku melihatmu sedang terpana menatapku. Tapi saat itu aku berpikir kalau kita tidak ditakdirkan untuk bersatu. Kita tidak saling mengenal dan aku juga sudah memiliki Rieska. Tapi takdir itu kemudian bergulir saat kita saling bertabrakan di ujung jalan itu. Kesempatan itu tidak aku sia-siakan. Aku menanyakan namamu dan kitapun berkenalan. Saat itu aku mulai merasa kalau aku mulai mencintaimu tapi takdir berkata lain. Andre datang ditengah-tengah kita dan aku tidak bisa meyingkirkannya karena ia adalah adikku dan kamu mencintainya. Dan sekarang, takdir rupanya berpihak lagi pada kita. Mulai saat ini aku akan selalu membawakan bunga untukmu. Kau mau kan?”
“Terima kasih. Tapi sebenarnya aku sudah punya satu bunga yang abadi. Ia tidak akan pernah kering ataupun layu dan berjuang mengalahkan sang waktu dengan keabadiannya. Aku berharap cinta kitapun demikian. Tidak akan pudar oleh sang waktu.”

Aku melangkah menyusuri lorong gang ini dengan setengah mengumpat kesal karena bulan tidak mau menemaniku malam ini. Dengan tersaruk-saruk aku melangkah lambat-lambat. “Ayolah bulan, datanglah malam ini! Aku ingin melihat cahaya perakmu seperti kemarin.” teriakku pada kegelapan malam. Aku mendongak dan menanti dengan penuh harap munculnya bulan dari balik awan. Tapi bulan tidak mau mendengarku teriakkanku. Aku menunggu beberapa detik lagi sebelum akhirnya melanjutkan perjalananku. Saat akan melangkah, tiba-tiba cahaya perak memancar dari langit dan seketika itu juga aku mendongak kembali. Menikmati keindahan bulan perak yang begitu memukau. Ketika aku berpaling, aku melihat Alex juga tengah menikmati keindahan bulan sambil membawa onggokan mawar jingga. Ia tersenyum dan melangkah mendekatiku. Diserahkannya bunga itu yang kusambut dengan senang hati. “Terima kasih, bunganya indah sekali.”
“Bulan itu indah, juga bunga ini. Tapi dari semuanya itu kaulah yang paling indah.”
Ah, kalau saja ia mengatakan kata cintanya dengan kata yang lain aku tidak akan terharu seperi saat ini. Ia mengandeng tanganku dan kamipun berjalan beriringan menyusuri jalan kenangan kami bersama dengan mawar jinga yang menyeruak harum dalam dekapanku.

Iman dan Pengharapanku

Tak seorang pun mengetahui kesulitanku
Tak seorang pun merasakan kesedihanku
Tak seorang pun mengetahui kesulitanku
Tak seorang pun, kecuali Yesus !

Kita pasti merasa takut jika Tuhan tidak menjaga kita ...
Kita pasti merasa kuatir jika Tuhan tidak sanggup memenuhi kebutuhan kita ...
Kita pasti bekerja membanting tulang jika Tuhan bukan Gembala kita ...
Kita pasti akan merasa bimbang jika Tuhan tidak setia ...
Kita pasti merasa sedih jika Tuhan tidak bangkit !

Kekuatiran membuat kita melihat hal-hal yang sebenarnya tidak ada.
Kekuatiran membuat kita tidak berdaya sebelum kita benar-benar jatuh binasa.
Kekuatiran menyebabkan pelbagai macam derita yang seyogianya hanya ada damai sejahtera.
Percayalah kepada Yesus yang mampu melenyapkan segala bentuk kekuatiran.

Di saat-saat menghadapi kekecewaan, tawar hati, atau kesedihan, sebutlah nama Yesus. Hembusan Roh-Nya akan mengangkat, dan menopang kita.
Selanjutnya kita akan naik terbang di atas sayap iman.
Karena di dalam nama Yesus ada penghiburan, pengharapan, dan kekuatan.

Bersukacitalah dalam pengharapan, bersabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa - Roma 12:12

Apabilah orang-orang benar itu berseru-seru, maka Tuhan mendengar, dan melepaskan mereka dari segala kesesakannya - Mazmur 34:18

Semoga aku lebih ingin mengasihi daripada dikasihi, karena dengan memberi kita menerima - St. Fransiskus dari Asisi

Berikan apa yang kau miliki kepada orang lain. Pemberian itu mungkin jauh lebih berarti daripada yang sanggup kau pikirkan - Henry Wadsworth Longfellow

Kasih menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan - 1 Korintus 13:7-8

Dia yang berdoa sungguh-sungguh, kasihnya juga sungguh-sungguh dalam segala hal, baik besar maupun kecil - Samuel Taylor Coleridge

Segalanya mungkin terjadi pada orang yang bersedia menanti - Henry Wadsworth Longfellow

Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku - Filipi 4:13


Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu - Matius 7:7

Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku - Mazmur 23:1

Tuhan adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia - Mazmur 103:8

Tuhan berkata, “Akulah yang menghibur kamu. Mengapa engkau takut ...?” - Yesaya 51:12

Tuhan menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka - Mazmur 147:3

Dalam kesusahanku aku berseru kepada Tuhan, dan Ia menjawab aku - Yunus 2:2

Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab engkau - Yeremia 33:3

Jika kamu meminta sesuatu kepada-Ku dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya - Yohanes 14:14

Karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya - Matius 6:8

Tuhan adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut? Tuhan adalah benteng hidupku, terhadap siapakah aku harus gemetar? - Mazmur 27:1

Rabu, 02 Desember 2009

Tips-Tips Dalam Memasak

* Mengupas Bawang Putih
Getah bawang putih sering kali lengket di tangan dan tak mau lepas hingga menimbulkan bau yang berkepanjangan. Rendam dulu bawang putih dalam air hingga lengketnya hilang. Setelah itu, bawang putih siap dikupas dan diiris.

* Mengupas Bawang Tanpa Air Mata
Yang paling penting adalah membuang kedua ujungnya. Sebab, ditempat itulah zat yang membuat kita menangis itu terletak. Kemudian, perciki papan talenan tempat mengiris bawang dengan sedikit cuka. Cara ini betul-betul membuat Anda tidak "menangis". Cara lain, nyalakan lilin di tempat Anda mengiris. Nah, mari kita mengiris bawang merah.

* Bawang Merah Berwarna Bagus
Bawang goreng akan tidak hangus dan warnanya tetap cemerlang kalau selama menggoreng Anda tambahkan satu atau dua sendok makan susu cair. Ingatlah, susu cair harus tawar. Kalau dibuat dari susu bubuk yang dicairkanpun harus dipilih yang tidak mengandung gula.

* Buah Tomat Terlalu Matang
Buah tomat yang terlalu matang bisa disegarkan sedikit dan ditegarkan kulitnya dengan jalan berikut; rendam tomat matang semalaman dalam air dingin di lemari es. Jangan lupa menambahkan sedikit garam. Keesokan harinya tomat menjadi lebih segar.