RSS

Pages

Kamis, 03 Desember 2009

Arrivederci, Amante

WAKTU itu kau berkata, “Semua orang harus mengalami ini, sekali dalam hidupnya.” Waktu itu, aku tak tahu kalau yang kau maksud bukan cuma keindahan alam kota Roma dan Venezia, dan bukan juga pertandingan sepak bola yang seru antara AS Roma melawan Lazio. Tapi yang kau maksud adalah perasaan ini. Perasaan yang masih tetap ada, apapun yang terjadi, meski setahun sudah berlalu. Perasaan itu tetap ada untuk selamanya.
Kadang-kadang aku sangat merindukanmu. Aku ingin menggapai dan menyentuhmu. Aku ingin terbang dan menjadi bintang di langit untuk menemanimu. Juga, aku ingin mengucapkan kata-kata yang dulu tak pernah sempat kuungkapkan padamu.
Arrivederci, amante!

Saat aku pulang dari kuliah fotografi, hari sudah menjelang senja. Untuk menyingkat waktu aku memilih mengambil jalan pintas melewati Villa Borgese, taman utama kota Roma. Taman ini sangat indah dan merupakan kebanggaan warga Roma seperti diriku, tentu saja selain tim kesebelasan AS Roma dan Lazio yang bermarkas di ibukota Italia tersebut. Aku tersenyum ketika teringat kalau hari Minggu akan ada derby antara dua kesebelasan tersebut yang tentu akan ditunggu-tunggu pencinta sepak bola. Ya...beginilah laki-laki Italia. Ada dua hal penting dalam hidupnya. Sepakbola dan wanita. Dan ngomong-ngomong tentang wanita, diatas jembatan berdiri seorang gadis yang luar biasa cantiknya.
Aku tertegun. Untuk pertama kalinya aku melihat sosok gadis yang begitu mempesona. Matanya yang menyorot lembut pada angsa-angsa yang berenang di danau dan rambut hitamnya yang panjang melambai-lambai tertiup angin, dilatar belakangi suasana senja temaram membuat sosoknya itu menjadi semakin menarik. Seperti sebuah karya seni.... Tiba-tiba aku teringat pada tugas yang diberikan Profesor Tachinardi tadi. Sebagai bahan ujian semua murid-muridnya diharuskan mengumpulkan sejumlah foto yang nantinya akan dinilai kearstistikannya. Aku tersenyum lebar. Jika dihadapan kita ada sebuah karya seni yang menarik, kenapa kita mesti susah-susah lagi mencari yang lain. Kuambil kamera yang selalu kubawa di ransel dan memfokuskannya pada sosok gadis tersebut. Untung Profesor Tachinardi juga menyarankan agar selalu membawa kamera, karena menurut Profesor objek yang menarik itu sering datang tak terduga. Dan ternyata kali ini ia benar. “Grazie, Prof!” bisikku lirih.
Aku sudah mengambil beberapa gambar, tapi keinginan untuk melihat lebih dekat membuatku menyetel kamera sehingga bisa menangkap gambar wajah gadis itu lebih dekat lagi. Saat hendak menekan tombol kamera, aku tertegun. Incredibile! Tidak mungkin! Tadi sekilas aku melihat seberkas air menetes dari mata indah itu! Apa yang membuatnya menangis? Ini benar-benar tak masuk akal. Di sini, di kotaku yang terkenal indah dan romantis itu, aku melihat seorang gadis menangis sambil menatap angsa-angsa yang berenang di bawahnya.
Dengan cepat aku memasukkan kamera dan mulai mendekati gadis itu. Gadis itu mirip seperti kebanyakan gadis Italia lainnya, tapi ada sesuatu yang membuatnya nampak berbeda. Sepertinya ada cahaya gaib yang menyinari wajah dan kulitnya sehingga bersinar seperti marmer. Karena aku begitu terpesona oleh kecantikan alami gadis tersebut, tanpa sadar aku terus memandanginya dan tidak bisa melepaskan pandangan dari sosoknya.
Rupanya gadis itu menyadari kalau ada yang mengawasinya, karena ia pun berpaling mencari sumber kehangatan yang dirasakannya. Kami saling bertatapan untuk beberapa lama. Aku tersenyum. Gadis itu tidak mengatakan apa-apa. Hanya menatap. Dengan matanya yang besar dan indah, gadis itu menatap tanpa berkedip padaku, kemudian ia berkata lirih, “Ini adalah taman, signor. Apakah anda selalu datang ke sini dan menatap wanita?”
Dengan cepat aku tersadar dari pesona itu dan menyahut, “Saya minta maaf atas kelancangan saya, signorina, tapi saya begitu terpesona oleh kecantikan Anda, saya pikir saya sedang berada di museum, memandang maha karya Leonardo Da Vinci.”
Gadis itu menerima pujianku dengan sikap malu. Sambil menyembunyikan wajahnya ia tersenyum. “Grazie.” ia menjawab dengan lirih.
Aku terus menatap gadis itu, dan ketika ia mendengar gadis itu mengucap terima kasih, mataku langsung menatap ke bibirnya. Lagi-lagi aku terpesona. Begitu terpesonanya sehingga aku ingin sekali menikmati rasa bibir itu bila disentuh oleh bibirku. Sial, pikiran itu mesti dibuang jauh-jauh dari otakku, makiku kesal. Aku pun mengalihkan pandanganku pada matanya yang hitam dan bening. Oh Dio, aku ingin sekali menyentuh mata itu! Tanpa sadar tanganku terulur dan ketika aku sadar, sudah terlambat untuk menghentikannya. Untuk mengalihkan perhatiannya, tangan itu kemudian kuarahkan ke rambutnya.
“Ada sesuatu di rambutmu,” ujarku. Dio, rambutnya juga halus dan harum. Rasanya aku tidak sanggup menahan keinginan untuk menyurukkan wajahkku ke dalam rambut yang tebal itu.
Gadis itu terkejut dan terlihat panik. Dengan sekali sentak ia berpaling dan berlari menjauh.
Aku terkejut dan mencgahnya. “Tunggu, saya belum tahu nama Anda!” teriakku. Tapi percuma, gadis itu sudah menghilang ditelan keremangan senja.

Sial, sial! Aku terus mengomel sambil berjalan menyusuri jalan yang terkenal itu menuju Villa Borghese. Lagi-lagi kesiangan, dan kali ini aku terancam tidak ikut ujian pada jam pertama. Aku terus berjalan dengan langkah panjang dan ketika sampai di jembatan, aku terkejut ketika tiba-tiba seseorang berbalik dan menubrukku. Aku sudah bermaksud kembali mengomel ketika kemudian aku melihat siapa yang telah menubrukku itu. Gadis yang kemarin! Dan sekarang rambutnya diikat ke belakang, rupanya ia berjaga-jaga dari angin nakal yang kemarin berhasil membuat rambutnya berantakan. Sayang, ia juga memakai kacamata hitam untuk menutupi matanya. Jadi aku tidak bisa melihat matanya yang indah itu. Tapi selebihnya, ia masih tetap sama. Masih mempesona seperti kemarin.
“Hallo,” sapaku sambil menebar senyum maut. Aku sudah mulai lupa kalau saat ini aku sudah sangat terlambat sekali untuk kuliah. Ah, persetan dengan kuliah! Keberuntungan seperti ini tidak akan terjadi dua kali dalam sehari. “Rupanya kita ditakdirkan untuk bertemu kembali ya?” ujarku berusaha bersikap ramah.
Gadis itu masih diam tak bergeming.
“Jangan takut, saya bukan orang jahat dan tidak akan menyakiti Anda.” Aku melirik brosur dan peta yang dipegang gadis itu. Oh, jadi dia bukan orang asli Roma. Apa dia kesini untuk berlibur?
“Anda belum pernah ke Roma sebelumnya?”
Ketika gadis itu tidak juga menjawab, aku berkata dengan setengah kesal. “Jika Anda tidak mau bicara, anggukan kepala sekali untuk ya, dua kali untuk tidak.”
Gadis menatapku sekilas, kemudian ia tersenyum. Senyum yang begitu luar biasa. Rasanya senyum itu pasti sanggup melelehkan salju sekalipun. Tapi sayang disini tak ada salju, sehingga aku tidak bisa membuktikan kebenarannya.
“Maaf, tapi saya tidak kenal Anda,” jawabnya lirih.
“Namaku Pier. Pier-luigi Mattarese. Aku berumur dua puluh empat tahun dan tercatat sebagai mahasiswa untuk jurusan fotografi.” Aku mengangkat kameraku untuk menjelaskannya. “Aku bukan termasuk pemuda berandalan, tidak merokok ataupun minum alkohol, dan menurut kebanyakan teman-temanku aku termasuk cowok yang ganteng. Satu lagi, aku sangat suka nonton sepak bola dan makan es krim berlapis kacang almond bakar.”
Gadis itu tertawa pelan. Saat melihatnya tertawa, aku serasa ikut terseret ke dalam pesonanya.
“Dan kalau boleh tahu namamu siapa, signorina? Atau aku mesti menebak sendiri?”
“Rossana Beaumont,” jawabnya sambil menerima uluran tanganku.
Tangannya terasa lembut dalam genggamanku. “Anda bukan orang Italia?” tebakku penasaran.
“Bukan. Aku orang Amerika.”
Aku mengerutkan kening heran. “Non e possibile. Tapi kau lancar berbahasa Italia ...”
“Nenekku yang mengajarinya. Dia orang Italia dan tinggal di Roma sebelum menikah dengan kakekku.”
“Oh pantas. Pasti wajah Italia-mu juga diturunkan dari nenekmu.”
Wajah gadis itu memerah untuk sesaat.
“Baiklah, jadi kau kesini untuk liburan?”
Dia mengangguk. “Aku ingin melihat-lihat kota Roma.”
Aku melihat suatu kesempatan dan tanpa berpikir panjang lagi aku langsung berkata,”Jika kau butuh seseorang untuk mengantarmu berkeliling kota Roma, aku bersedia. Aku mengenal kota ini seperti aku mengenal diriku sendiri.”
“Terima kasih,” ujarnya dengan setengah ragu. “Tapi aku tidak ingin merepotkan ...”
“Aku tidak keberatan kok. Lagi pula tugas sekolahku mengharuskan aku untuk mencari objek foto yang menarik untuk dikumpulkan. Ya... katakanlah, sambil menyelam minum air.”
“Baiklah, aku senang kalau ada yang menemaniku. Tadinya aku bingung tidak tahu harus kemana.”
“Katakan saja, kemana kau ingin pergi, dan pasti aku akan mengantarmu dengan selamat.”
“Sebenarnya ada banyak yang ingin kulihat. Forum Roma, Basilika St. Peter, air mancur Trevi, Colosseum ...”
“Wow...wow...itu banyak sekali. Mungkin sehari tidak cukup untuk melihat semuanya. Bagaimana kalau hari ini kita melihat yang terdekat dulu, mungkin besok kita lanjutkan ke lainnya. Kau menginap di dekat-dekat sini?”
“Ya, di Villa Dolce far Niente.”
“Bagus. Jadi besok kita bisa kembali melanjutkan perjalanan kita, dan kita ketemu di sini saja. Setuju?”
“Setuju.”
“Dan sebelum memulai petualangan kita, ada baiknya kalau kita sarapan dulu.”
“Es krim berlapis kacang almond bakar?”
“Bukan. Terlalu pagi untuk makan es krim. Tapi kita minum capuccino saja.”
Aku mengajak Rossa menyusuri jalan di Via Cordotti dan tak lama kemudian kami tiba di coffe-bar, meja berpayung putih-merahnya tersebar di trotoar. Aku menuntun Rossa ke meja terdekat, lalu memiringkan payung itu untuk melindungi gadis itu dari sinar matahari. Entahlah, aku tidak tahu kenapa tiba-tiba saja aku mengulurkan tangan, dan melepas kacamata gelap Rossa dan menyelipkannya ke saku bajuku. Gadis itu nampak sedikit terperangah dengan kelakuanku yang tak diduganya.
“Kau memiliki mata paling indah yang pernah kulihat pada seorang gadis. Sayang kalau disembunyikan.”
Semburat merah langsung memenuhi wajah cantik itu, dan gadis itu menundukkan kepala untuk menyembunyikan rasa malunya. Untung cameriere - pelayan pria - bercelemek putih segera datang mencatat pesanan kami. Tak lama kemudian ia datang lagi membawakan kopi berbusa putih dan ditaburi cokelat, dan sepiring biskuit marzipan.
Setelah menyesap kopi dan meletakkan kembali cangkirnya dengan hati-hati di alas kainnya yang kecil, aku bertanya kepada Rossa,” Berapa umurmu Rossa?”
“Dua puluh,” sahutnya pelan.
“Dan orang tuamu mengijinkan kau sendirian ke Italia?”
Gadis itu menggeleng. “Tidak. Orang tuaku ikut bersamaku, tapi kami memutuskan untuk melihat-lihat kota Roma sendiri-sendiri. Aku ingin bebas melihat-lihat sambil membayangkan apa yang diceritakan nenek padaku.”
“Baiklah, sebelum hari semakin siang, kita berangkat saja sekarang,” ujarku sambil meletakkan beberapa lembar lira di meja.

Ternyata gadis itu sangat menyenangkan selama dalam perjalanan. Ia begitu lembut dan cantik, sampai-sampai membuatku lupa kalau seharusnya aku mesti masuk kuliah pagi ini. Aku juga lupa pada semua pelajaran dan tugas yang diberikan Profesor. Yang ada dipikiranku hanyalah sosok sempurna yang berada di sampingku. Bagaimana dia tersenyum, bagaimana cara dia tertawa sehingga menampakkan sederet giginya yang putih, atau bagaimana rambutnya menebarkan aroma mawar yang membuatku panas dingin. Sepertinya gadis itu telah merampas semua ingatannya dan menyihirnya agar selalu menuruti segala keinginannya. Jika ia menyuruhku menjadi katak, aku pasti akan bersedia melompat-lompat sepanjang jalan. Selama dua puluh empat tahun, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Benar-benar menakjubkan!
Dan bukannya memanfaatkan peluang dengan membuat foto untuk tugas kuliah, aku malah sibuk mengarahkan kameraku kearah gadis itu dan menghabiskan tiga rol film hanya untuk memotretnya. Ah, persetan dengan tugas itu, pikirku kesal. Masih ada waktu untuk memikirkan hal tersebut.
Setelah berjalan-jalan di reruntuhan forum yang berumput, yang nampak luar biasa tapi melankolis, kami menuju Colosseum yang dikelilingi bus-bus turis dan kios-kioas bunga serta kereta kuda berbaris.
“Kita naik carrozza untuk jalan-jalan berikutnya,” kataku pada Rossa. Ketika melihat gadis itu asyik mengamati barisan kereta kuda yang berwarna hitam, roda dan batang kekangnya di cat merah menyala, sedang kudanya memakai jerami dan telinganya mencuat dari lubangnya, aku segera menghilang menuju kios penjual bunga.
Melihat onggokan mawar merah, aku jadi tidak dapat menahan keinginanku lagi. Rossa tersenyum saat melihatku datang sambil membawa setangkai mawar merah yang sangat indah. Aku menjatuhkan ciuman ringan di bibir Rossa seraya menyerahkan mawar itu kepadanya.
Kusir kereta tersenyum menyaksikan adegan tersebut, mendesah berlebihan sambil meletakkan ibu jari dan jari telunjuknya di mulut dan meniupkan ciuman ke udara.
Wajah Rossa memerah seperti bunga mawar itu, dan mungkin wajahku juga demikian. Aku tidak perduli. Yang penting aku sudah bisa merasakan bagaimana rasa bibir itu di mulutku. Sayang, tadi hanya sekilas. Tapi meski sekilas, aku bisa merasakan kalau ciumannya ternyata lebih lezat daripada es krim berlapis kacang almond bakar.
Sambil berusaha meredakan debaran jantungku, aku mendudukkan Rossa di kereta dan memberikan perintah pada kusir yang masih tersenyum-senyum.
Kuda berderap, hampir menyenggol sebuah bus sebelum akhirnya berlari kencang. Kereta kuda itu membawa kami melewati pilar-pilar dan tangga-tangga besar marmer putih yang membentuk monumen Victor Emmanuel.
“Orang Roma menyebut ini kue pengantin. Betul ya?” tanya Rossa sambil menuding ke arah monumen tersebut. Aku berpaling dengan kaget. “Darimana kau tahu hal itu?”
“Kau lupa, nenekku asli orang Roma,” sahutnya sambil tertawa.
“Ah ya, aku lupa! Nenekmu tinggal bersamamu di Amerika?”
Rosa mengangguk. “Kami tinggal di Pennsylvania. Ia bertemu kakekku disini, tepatnya sih di jembatan di Villa Borghese.”
“Tempat kita bertemu dua kali,” komentarku sambil merenung. “Terus apa yang terjadi?”
“Waktu itu kakekku sedang kuliah di sini, dan sejak pertemuan pertama itu mereka sering berkencan. Nenek sering bercerita tentang tempat-tempat ini sejak aku kecil dan aku sudah terpesona dengan tempat ini bahkan sebelum aku melihatnya. Karena itu ketika aku punya kesempatan berlibur, tempat inilah yang menjadi pilihan utamaku. Aku ingin melihat sendiri tempat yang kata nenek sangat bersejarah baginya itu. Disini mereka sering menghabiskan waktu bersama sebelum akhirnya kakek lulus dan mesti pulang ke negaranya.”
“Bagaimana dengan nenekmu?”
“Oh, tentu saja kakek membawanya karena menurut cerita nenek, kakek tidak bisa lepas darinya barang satu menit pun. Mereka menikah di sana, dan ya akhirnya di sanalah nenek menghabiskan sisa hidupnya bersama orang yang dicintainya.”
“Kenapa kamu tidak mengajaknya kesini, tentu ia senang bisa melihat tempat-tempat yang bersejarah itu kembali.”
“Aku juga berharap begitu, tapi nenek sudah meninggal setahun yang lalu, dua bulan setelah kakek meninggal.”
“Aku menyesal,” ujarku pelan. “Padahal aku juga ingin bertemu dengannya.”
“Kamu? Untuk apa?”
“Ya untuk mengucapkan terima kasih, karena dengan ceritanya tentang kota Roma, aku jadi bisa bertemu dengan gadis secantik kamu. Terus apa lagi yang sering diceritakan nenekmu tentang kotaku.”
“Oh ya, nenek juga sering bilang kalau kebanyakan pria-pria Italia khususnya Roma itu perayu.”
Aku tertawa keras mendengar semua itu. “Dan tentunya kamu tidak percaya pada omongan itu kan?”
“Aku percaya, karena aku sudah melihat buktinya.”
Aku meringis mendengar kata-katanya.
Ketika kami sampai di Tiber, aku membayar kusir kereta dengan memberi tip cukup banyak kemudian menolong Rossa turun.
“Siap berjalan-jalan?”
“Ya, aku ingin meluruskan kakiku,” sahut Rossa.
“Jika kau mulai lelah, katakan saja, dan kita bisa naik taksi saat pulang nanti.”
Bagiku sisa siang itu berlalu dalam sebuah kaleidoskop penuh warna-warni, kesan, pemandangan, dan suara yang indah. Jam hampir menujukkan angka setengah tujuh ketika kami sampai di Via Veneto, dan menyusuri jalan yang terkenal itu menuju Villa Borghese.
Matahari masih bersinar tetapi telah kehilangan ketajamannya dan angin sejuk sore hari bergemerisik di antara dedaunan, menyebarkan aroma damar yang tajam dari pohon pinus payung yang berombak-ombak.
Kami berpisah di sana dan sepakat untuk bertemu esok hari, melanjutkan jalan-jalan kami. Saat melihatnya menghilang di keremangan senja, aku merasa ada sesuatu di hatiku yang turut hilang juga. Hari ini benar-benar menjadi hari terindah dalam hidupku.

Keesokan harinya aku menunggu kedatangan Rossa di jembatan. Hari ini kami sepakat melancong ke Basilika St. Peter di Vatikan. Sudah hampir setengah jam aku di sini, tapi Rossa belum juga nampak batang hidungnya. Dan ketika ia akhirnya muncul, wajahnya terlihat sangat pucat.
“Maaf, aku terlambat,” ujarnya lirih.
“Rossa, kau sakit? Kurang enak badan? Pusing? Flu? Ya, kan! Itu pasti karena kau kecapekan kemarin,” tebakku.
“Mamaku bilang aku harus istirahat hari ini. Aku tak boleh terlalu capek. Tapi aku ingin sekali melihat Basilika St. Peter. Lagipula aku tidak mau membuatmu menunggu.”
“Aku tak keberatan menunggumu,” ujarku sambil meraba dahinya. Sama sekali tidak demam. Malah dingin sekali. Bibirnya juga. Saat kusentuh dengan ujung jariku.
“Kau benar-benar tak apa-apa?” ulangku lagi.
Ia mengangguk pelan. “Aku baik-baik saja.”
“Kalau begitu, kita berangkat sekarang.”
Hari ini aku kembali berhasil mencuri beberapa foto dari Rossa. Mulai dari Rossa yang berdiri di samping air mancur Trevi, sampai pada saat gadis itu tengah berlutut di depan patung karya sang maestro Michael Angelo, La Pieta. Patung itu menggambarkan Bunda Maria yang tengah memanggku tubuh Putranya setelah diturunkan dari kayu salib. Sungguh karya yang menakjubkan. Aku dan Rosa sempat terkagum-kagum dibuatnya. Di St. Peter ini banyak sekali karya-karya indah dari pelukis-pelukis besar dunia diantaranya karya Raphael dimana pada bagian atas ia menggambar surga sedang dibawahnya menggambarkan dunia.
Dalam perjalanan pulang, aku mengajak Rossa mampir di Roberto’s, restoran kecil khas Italia. Restoran itu sederhana dan tenang. Setelah suasana hiruk-pikuk di jalan, interior restoran yang dikelilingi tembok-tembok berwarna sederhana itu terasa teduh dan menenangkan.
Seorang pelayan muncul membawa Fettucine ala Panna yang hangat, Permesan segar dan es krim berlapis almond bakar kesukaannya.
“Besok kau ingin melanjutkan perjalanan kemana?” tanyaku sambil menikmati pasta lebar dengan saus mentega dan krim yang lezat itu.
“Venezia,” sahut Rossa.
“Venezia?” Aku menatap Rossa dengan lembut. “Kota itu terkenal romantis. Tahu tidak kalau di sana ada sebuah jam besar. Kalau kita melintas di bawahnya pada jam dua belas malam, kita akan terkena panah cinta dan akan jatuh cinta dengan orang yang ada di samping kita saat itu.”
Aku mengamati rekasi gadis itu. “Kau takut jika kita lewat di sana?”
Rossa mendongak. “Takut pada apa? Pada kutukan itu?”
Aku mengangguk.
“Jika kutukan itu mengharuskan aku jatuh cinta padamu, kenapa aku harus takut?”
Aku mengulurkan tangan menyentuh pipinya yang lembut. Dengan lembut aku menarik wajahnya mendekat dan menciumnya. Begitu lembut dan mempesona. Tiba-tiba saja aku sadar apa yang kurasakan sejak kemarin. Aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta karena kelembutan dan pengertiannya. Seluruh perasaan dari lubuk hatinya yang terdalam serasa mengalir memasuki hatiku. Sekarang aku baru tahu apa dan bagaimana cinta itu. Lebih kuat dan lebih mendalam dari semua yang pernah kurasakan. Cinta benar-benar membuatku ketakutan. Takut kehilangannya.

Tiba di Venezia saat hari sudah menjelang senja. Kami naik gondola, sejenis perahu dengan bentuknya yang khas. Kami bersama-sama menyusuri lorong-lorong air di Venezia Piazzale Roma, bagian kota tua yang terendam air. Gondola itu dilayani satu awak dan dijalankan mirip menjalankan rakit, karena si awak tidak menggunakan dayung. Yang digunakan adalah sebatang kayu panjang untuk bertumpu pada dasar air atau tembok bangunan-bangunan di sekitarnya. Rute yang mereka lalui adalah perkampungan tua yang sebagian besar tidak berpenghuni. Kalaupun ada yang tinggal di gedung-gedung bertingkat 4 samapi 5 itu, mereka adalah awak-awak gondola yang banyak berkeliaran di sana.
Perjalanan ini terasa semakin romantis ketika pengamen-pengamen Venezia dengan gitarnya mengiringi kami dengan lagu-lagu tradisional. Aku tidak ingin semuanya berlalu dengan cepat.
“Tahu kenapa aku ingin ke Venezia dan naik gandola ini, Pier?” bisik Rosa ditelingaku
“Karena ingin menikmati suasana romantis bersamaku?” tebakku ngawur.
Rosa tersenyum. “Bukan. Tapi karena disinilah kakek mengucapkan cintanya yang pertama kali pada nenek dan melamar nenek untuk menjadi istrinya.”
Aku tersenyum dan menatap Rossa dengan lembut. “Aku juga sudah jatuh cinta padamu sejak aku pertama kali melihatmu berdiri di atas jembatan.”
“Jangan merayuku. Kita bahkan belum berada di bawah jam legendaris seperti yang kau bilang kemarin,” kata Rossa.
“Aku tidak butuh jam legenda itu hanya untuk mengatakan aku cinta padamu.”
Rossa tertawa. “Jadi legenda itu sama sekali tidak ada. Kau hanya membual. Benar kan?”
“Tidak juga,” kataku berkelit. “Lagi pula sekarang kan belum jam dua belas, jadi kita tidak bisa membuktikan kebenaran legenda itu.”

Sepulang dari naik gondola kami berjalan-jalan mengelilingi kota tua itu, sembari keluar masuk bangunan-bangunan tua yang dilindungi pemerintah. Ribuan merpati jinak di sekitar St. Marcus Square yang terletak di tengah-tengah bangunan anggun tadi, menarik perhatian Rossa dan ia berhenti sejenak untuk bersenda gurau dengan mereka. Malamnya kami melihat pesta kembang api dari sebuah kanal besar. Luar biasa indah, sampai-sampai tanpa sadar aku meneteskan air mata. Biasanya aku tidak pernah bersikap seperti ini. Tapi entahlah, mungkin karena suasana yang mendukung, atau mungkin juga karena di sampingku berdiri seseorang yang aku cintai. Rasanya ini sungguh menakjubkan.
“Hei, besok hari Minggu,” seruku tiba-tiba. Saat ini kami berada dalam kereta yang membawa kami pulang ke Roma.
“Memangnya kenapa kalau besok hari Minggu? Kau ada janji dengan seseorang?”
Aku menggeleng. “Bukan, tapi besok saatnya derby antara Roma melawan Lazio.”
Mata Rossa berbinar untuk sesaat. “Nenek sering bercerita tentang orang Italia yang tergila-gila pada sepak bola. Dari cerita nenek, aku jadi ikut-ikutan menggilai sepak bola sampai-sampai aku dulu ingin menjadi wartawan olah raga biar bisa melihat langsung pertandingan sepak bola. Biasanya kami hanya bisa menontonya lewat televisi.”
“Dulu? Kenapa kau katakan dulu? Apa sekarang keinginanmu itu sudah berubah?”
Rossa mengangguk.
“Lantas? Mau jadi apa kau sekarang?”
“Kembang api.” Rossa tertawa melihatku melonggo.
“Apa?” tanya heran.
“Aku ingin menjadi cahaya terang di langit,” gumam Rossa, dan tiba-tiba nada gembira dalam tawanya sirna. Tangan kami saling bersentuhan. Ia memegang tanganku dan tak ingin melepaskannya. “Tapi kau mesti janji untuk tidak menangis saat melihatku jadi kembang api, ya?”
“Kau melihatku menangis?”
Rossa mengangguk. “Besok, kau mau kan mengajakku nonton pertandingan itu?”
“Kau mau? Kalau kau mau, tentu saja aku akan mengajakmu. Kita pasti akan bersenang-senang di sana nanti.”

Pertandingan antara Roma melawan Lazio berlangsung seru. Kami semua menikmati pertandingan itu dengan gembira, terutama Rossa yang terlihat antusias mendukung Roma. Meski hasil akhirnya seri, tapi kami semua puas. Kami pulang naik mobil, yang memang sengaja kubawa karena jarak stadion yang lumayan jauh dari hotel tempat Rossa tinggal. Gadis itu terus berceloteh dalam berjalanan pulang sementara aku hanya mendengarkannya sambil menyetir.
Tiba-tiba Rossa merintih kesakitan. Wajahnya pucat sekali. Aku segera menepikan mobilku dan memegang dahinya.
“Kenapa, sayang? Apanya yang sakit?”
“Semuanya sakit,” ia mendesah. “Tapi sekarang sudah tidak lagi.” Suaranya melemah. Kuusapkan wajahku ke wajahnya yang begitu pucat dan dingin. Ia membuka matanya dan menatapku lekat-lekat, lalu mengangkat tangannya dan membelai wajahku. Matanya berkaca-kaca. Air mata pelan-pelan membasahi pipinya. Ia menarik wajahku dan menciumku, ciuman yang seakan menyatu dengan kepekatan udara malam dan denyut cahaya bintang di kejauhan.
“Aku mencintaimu, Pier,” ia berbisik. “Dan kau mencintaiku. Cukup sudah. Semua orang harus mengalami ini. Sekali dalam hidupnya.”
“Apa maksudmu? Rossa, katakan, apa maksudmu?” aku berteriak histeris, dan merangkulnya lebih erat. Embusan napasnya terasa di rambutku, tapi matanya terpejam. Dengan memeluknya aku dapat mendengarkan tarikan napasnya dan merasakan kehangatan serta keindahan cintanya. Aku mencoba untuk mengembalikan suaranya, agar tahu apa yang dimaksudnya. Tapi sia-sia, yang kudapat cuma senyuman yang membuat wajahnya sedikit cerah.
Aku menjerit ketakutan.
Dalam perjalanan menuju hotel dan saat memanggil kedua orang tuanya, aku merasa seperti robot. Tubuhku kaku dan hanya diam terpaku, saat melihat kedua orang tua Rossa sibuk mengangkat tubuh ringkihnya dan melarikannya ke rumah sakit. Entah, saat sosok-sosok yang berlarian itu menjauh, aku yakin kalau inilah terakhir aku melihat Rossa. Aku kehilangannya. Untuk selamanya.

Aku tengah berdiri di atas jembatan, dua hari setelah peristiwa tersebut. Dua sosok mendekat dan mengulurkan sebuah kotak padaku. Aku mendongak dan mendapati kedua orang itu adalah orang tua Rossa.
“Kau, Pier kan? Aku ingin berterima kasih ...”
“Dia bukan hanya sakit flu, kan?”
“Bukan. Tapi leukimia,” kata ayahnya dengan lirih.
“Bagaimana keadaannya?”
“Dia meninggal tadi pagi.”
“Tidak!” aku menjerit.
“Pier, dengar. Dengarkan aku. Rossa sangat mencintaimu. Itu semua ditulisnya dalam buku hariannya. Pertemuannya denganmu, saat-saat kalian bersama. Ia tahu apa yang bakal terjadi, dan dengan mencintaimu, sungguh sangat meringankan bebannya. Kami menemukan buku ini, di kamarnya. Menjelang hari-hari terakhirnya ia merasa sangat bahagia. Melegakan, bukan? Sesuatu yang manis untuk dikenang. Kau membuatnya bahagia. Terima kasih, Pier!”
Mereka menyodorkan kotak itu padaku dan memelukku erat, kemudian pergi dan meninggalkan aku sendiri. Bersama buku harian dan bayangannya.
Memabaca tulisannya membuatku sedikit tenang. Aku melihat cahaya terang, seperti yang dijanjikannya.
“Aku ingin menjadi cahaya terang di langit,” ia pernah mengatakan. “Janganlah menangis.”
Jangan menangis.
Ia tak ingin aku menjadi puing-puing kemalangan dan kepedihan. Ia ingin aku melihat cahaya terang di langit.

Rossa, beginilah caraku untuk menyatakan selamat berpisah kepadamu. Aku menceritakan hari-hari kita bersama.
Hari ini, setahun kemudian, aku kembali mengunjungi tempat-tempat kita menghabiskan waktu bersama. Aku ingin menghidupkan kenangan liburan dan cinta kita waktu itu.
Suatu hari nanti, mungkin aku juga akan menemukan seseorang lain. Kini, setidak-tidaknya, aku sudah tahu apa yang kucari. Aku tahu sekarang apa dan bagaimana cinta itu. Kau mengajariku begitu banyak. Cintamu tetap akan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidupku.
Aku mencintaimu. Aku selalu mencintaimu. Kau adalah cahaya terang di langitku.
Arrivederci, amante!

0 komentar:

Posting Komentar