RSS

Pages

Kamis, 03 Desember 2009

Bulan Perak

Sepulang dari kuliah malam, aku menyusuri jalan setapak sendirian. Suasana begitu temaram karena seperti biasanya lampu penerangan yang ada di gang ini hilang dicuri oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Hanya cahaya bulan yang keperakan yang membantuku melangkah tanpa harus tersandung batu yang memang banyak berserakan di sana. Hasil tes yang diumumkan di kampus tadi membuatku melangkah tanpa semangat. Nilai E, dan itu berarti aku mesti mengikuti ujian ulang. Aku mengumpat kesal. Jika semua ini baru sekali terjadi mungkin aku tidak akan sekesal ini. Tapi ini sudah ketiga kalinya dalam semester ini. Dan semua ini gara-gara cowok sialan itu. Dengan seenaknya ia pergi bersama para gelandangan yang menamakan diri seniman itu tanpa memberi kabar sedikit pun padanya. Sudah hampir tiga tahun berlalu, dan setiap hari aku tidak pernah berhenti untuk terus berharap. Aku percaya suatu hari ia akan muncul dan kembali padanya. Tapi belakangan aku mulai merasa putus asa. Dan itu membuat semangat belajarku ikut menurun. Banyak yang mengatakan aku bodoh karena mau menunggu seseorang tanpa kepastian selama tiga tahun, tapi aku tetap bertahan pada keputusanku. Dulu sebelum pergi aku dan Andrew telah berjanji untuk saling mencintai dan setia selamanya. Tapi mungkin selamanya itu terlalu lama buatku, pikirku bimbang.
Ketika kebimbangan mulai menyeruak di pikiranku, tiba-tiba aku melihat sebuah sosok. Sosoknya yang tertimpa cahaya bulan perak membuatnya nampak bagai sebuah lukisan Leonardo da Vinci. Dengan rambut agak panjang hampir menyentuh tengkuk dan tubuh jangkungnya, ia melangkah anggun dalam bayangan kegelapan disekelilingnya. Seperti pangeran yang muncul dari negeri kegelapan. Aku terpesona. Oh, bukan pada sosok menawan itu, tapi pada bunga edelweis yang ada dalam dekapannya. Pada siapa bunga secantik itu akan diberikannya? Pada seorang putri impian yang menantinya di taman dengan baju putih berumbai-rumbai? Atau pada seorang gadis manis yang selalu menatapnya dengan sorot penuh kerinduan? Ah, masa bodoh! Toh, bukan aku yang akan menerima bunga itu, pikirku kesal dan melanjutkan langkahku yang sempat terhenti tadi. Aku pasti terlalu banyak membaca cerita dongeng. Mana ada di jaman sekarang kisah pangeran dan putri seperti yang selalu ada di negeri dongeng.
Tapi aku tidak bisa melepaskan pikiranku dari sosok tersebut. Dan ketika seminggu kemudian aku bertemu kembali dengannya, aku jadi semakin penasaran dengan sosok misterius tersebut. Kehadirannya, meski hanya lewat sekilas di sampingku ternyata mampu membuat jantungku berdebar hebat. Untung tidak sampai copot..he..he.. Kali ini ia membawa seonggok bunga mawar pink yang harumnya masih membekas di benakku selama berhari-hari. Jika selama ini aku selalu kesal setiap kali pulang kuliah malam karena harus melewati gang sempit yang gelap, sejak bertemu dengannya aku jadi bersemangat. Ia selalu muncul setiap malam minggu dengan membawa bunga yang berbeda-beda setiap kali kami bertemu. Mulai dari mawar yang beraneka warna sampai pada violet, krisan, anyelir dan anggrek. Sejak dulu aku sangat tergila-gila pada bunga, karena itu aku sudah cukup senang melihat bunga-bunga yang dibawa cowok itu meski aku tahu bunga itu bukan untukku. Setidaknya aku bisa berkhayal suatu saat Andrew akan datang membawakanku bunga, meski itu hanya setangkai mawar merah.
Malam ini aku kembali menyusuri gang sempit yang merupakan jalan pintas menuju kompleks perumahan tempat tinggalku. Tapi tidak seperti biasanya, malam ini bulan perak nampaknya enggan menampakkan wajahnya. Ia memilih bersembunyi di balik awan yang menutupinya. Sambil memincingkan mata aku melangkah dengan hati-hati. Langkahku terhenti ketika aku menubruk sesuatu.
“Aduh, sialan!” makiku jengkel.
“Maaf.” Sebuah suara membuatku kaget. Ternyata yang kutubruk tadi adalah seseorang. Ketika aku melebarkan mata mencoba melihat siapa yang ada di hadapanku ini, tiba-tiba bulan muncul dan sinar peraknya membias pada sosok jangkung yang membuatku kembali tersentak. Ia adalah pangeran dari negeri kegelapan itu. Aku sudah hendak tersenyum minta maaf tapi segera urung ketika melihat sorot matanya yang begitu muram dan sedih. Ia menunduk, dan ketika aku juga ikut memandang ke bawah, tahulah aku kini mengapa ia menjadi sedih begitu. Bunga mawar merah yang dibawanya jatuh berantakan saat kami bertubrukan tadi. Aku segera berlutut dan memungut tangkai bunga mawar itu dan merangkainya membentuk sebuah onggokan.
“Maaf kalau aku telah menyebabkan bunga ini rusak!” ujarku sambil meyerahkan bunga itu padanya.
Ia menggeleng lemah. “Tidak apa-apa. Bunga itu juga sebenarnya akan aku buang!”
Aku membelalak kaget. “Bunga secantik ini akan kau buang? Kan sayang?”
Ia kembali menengadah menatapku. Setelah beberapa detik hanya diam memandangku, ia pun berkata, “Kalau kau mau, ambillah!”
“Tapi... tentunya bunga ini bukan sengaja diberikan untukku, kan? Kenapa tidak diberikan kepada yang berhak menerimanya?” tanyaku heran.
“Ia sudah punya orang lain yang memberinya bunga, dan yang pasti lebih bagus dari punyaku.”
Aku hanya bisa tertegun mendengar penjelasannya. Oh, jadi mata sesuram itu disebabkan karena ia patah hati. Tega sekali cewek yang menolaknya, padahal ia sudah berbaik hati memberinya bunga setiap kali ia datang. Kalau saja Andrew seperti dia, aku tentu tidak akan terpuruk dalam penantian tanpa ujung seperti ini. Aku menatap mawar merah dalam genggamanku. Hmm, harum sekali. Sayang kalau bunga secantik ini harus masuk tempat sampah.
“Baiklah, aku akan menerimanya! Terima kasih ya!” kataku yang dibalasnya dengan senyum tipis. Setelah itu ia pun berlalu dari hadapanku. Tapi baru beberapa langkah, ia berbalik dan bertanya padaku,” Boleh aku tahu siapa namamu?”
“Rossa,” sahutku sambil mengulurkan tangan ke arahnya.
Disambutnya uluran tanganku. “Alex,” balasnya memperkenalkan diri. “Nama yang bagus, cocok dengan bunga mawar itu !”
“Terima kasih,” ujarku dan tersenyum manis.
Ia menggangguk pelan. Dilepaskannya genggaman tangannya dan dalam sekejap ia menghilang ditelan kegelapan malam. Tinggal aku yang menggigil kedinginan di sini. Ya Tuhan, ini bukan hanya mimpi kan? Tapi jika ini mimpi, tolong jangan bangunkan aku sebab ini mimpi terindah dalam hidupku.
Sejak kejadian itu aku tidak pernah melihatnya lagi pada malam minggu. Aku jadi kehilangan sosoknya, juga bunga-bunganya. Aku selalu berharap dapat bertemu lagi dengannya, dan itu terwujud saat sepulang kuliah aku melihatnya berdiri di ujung jalan, seperti sedang menanti seseorang.
“Selamat malam,” sapanya sambil tersenyum.
Aku membelalak tak percaya dengan apa yang kulihat. “Hai,” ujarku setelah menemukan kesadaranku kembali. “Sedang apa di sini, menunggu seseorang?” Ketika melihatnya mengangguk, mendadak ada perasaan kecewa berkecamuk di hatiku. “Siapa?”
“Kau.”
Aku tersentak mendengarnya. “Jangan bargurau, ah!” elakku.
“Sungguh! Aku menunggumu. Aku ingin kita berteman, mau kan? Kulihat kau suka bunga sama sepertiku.”
Aku hanya diam tak bergeming. Kaget campur tak percaya dengan apa yang dikatanya.
“Kenapa diam, kau tidak suka bunga ya? Kalau begitu maafkan aku. Lupakan saja apa yang barusan kukatakan. Selamat malam, maaf sudah mengganggumu,” katanya sambil berbalik.
“Aku suka bunga,” ujarku setengah berteriak.
Cowok itu berhenti dan kembali menghadapku.
“Aku sangat suka bunga,” ulangku menyakinkannya.
Cowok itu tersenyum. “Aku punya kebun bunga. Kau boleh melihatnya jika kau mau.”
Aku membelalak kagum. “Sungguh? Kebun bunga sungguhan? Oh, tentu saja aku mau!”
Setelah beberapa kali bertemu dan ngobrol bareng tentang banyak hal, Alex akhirnya mengundangku untuk ke rumahnya dan melihat kebun bunga yang sering diceritaknnya. Minggu pagi sepulang dari gereja Alex menjemputku dan kami pun pergi ke rumahnya. Rumahnya tak jauh dariku meski tidak dalam satu kompleks perumahan yang sama denganku. Saat membelok menuju rumahnya, aku mulai merasa curiga karena aku dulu sering lewat jalan ini ketika hendak ke rumah Andrew. Dan saat kami berhenti di depan sebuah rumah, kekhwatiranku terbukti. Meski sejak tiga tahun ini aku tidak pernah lagi ke rumah Andrew tapi aku masih ingat betul dan tidak akan salah. Kami berhenti di depan rumah Andrew.
“Ada apa? Kau tidak ingin masuk?” tegur Alex melihatku hanya bengong dan termangu di pintu pagar.
Dari dalam rumah muncul wanita setengah baya yang begitu melihat sekilas langsung mengenaliku. “Hallo Rossa, apa kabar? Lama tidak pernah main-main kemari ya?”
Aku meringis. Rupanya ibu Andrew masih mengenaliku meski sudah lama aku tidak kemari. “Baik-baik saja, tante.”
Alex melongo. “Kok kalian sudah saling kenal?” tanyanya bingung.
“Tentu saja mama kenal Rossa, Al, bukankah dia pacar Andrew. Dia dulu sering kemari, tapi sejak adikmu pergi ia tidak pernah kesini lagi. Tante sampai kangen lho!”
Aku kembali meringis. Terbuka deh sudah semua rahasiaku. “Belakangan sibuk kuliah terus, tante,” belaku lirih.
“Andrew? Kau pacar Andrew?” Alex menatap Rossa tak percaya. “Tapi kenapa aku nggak pernah bertemu denganmu…”
“Saat itu kau masih kuliah di Bogor, Al,” mamanya menjelaskan.
Alex menggangguk mengerti. “Pantas kalau begitu,” gumamnya.
“Bagaimana kabar Andrew, tante?” tanyaku setengah berbisik.
“Yah, begitulah,” kata Tante Siska sedih. “Dia terlalu keras kepala. Dia ingin membuktikan pada semua orang kalau dia pasti akan berhasil menjadi seniman meski kami semua menentangnya. Kabar terkakhir yang kami dengar ia sekarang tinggal di Yogya. Kau mesti sabar ya, Ros? Tante yakin kok ia pasti akan pulang suatu saat nanti.”
Aku hanya bisa mengangguk pelan. Sanggupkah aku bertahan?

“Kenapa kau tidak bilang kalau kau punya adik yang bernama Andre?” tegurku begitu kami sudah kembali berdua.
“Kau sendiri tidak pernah bilang kalau pacarmu yang melarikan diri itu namanya Andre!” bantah Alex. “Baiklah, kita memang belum terlalu dekat sehingga masih ada yang belum kita ketahui tentang diri kita secara mendetail. Kalau memang ternyata pacarmu itu ternyata adikku, itu tidak akan mempengaruhi hubungan kita kan?”
“Tentu saja ada!”
“Maksudmu?”
“Kau pasti tahu dimana Andre sekarang. Kenapa ia nggak pernah menghubungiku, Al?”
“Ia keras kepala sama seperti aku. Mungkin ini memang sifat keluargaku, turunan dari nenek moyang kami.” Ia tertawa pelan. “Kau masih mencintainya, heh!”
Aku tersentak. Masihkah cinta itu ada setelah hampir tiga tahun dalam penantian tak berujung? “Mungkin,” sahutku pelan. Ia menatapku dengan heran atas jawabanku yang ragu-ragu. “Ketika ia pergi kami masih dalam status pacaran dan belum benar-benar putus. Dan selama ikatan itu belum berakhir aku...“
“Yang kutanya apa kamu masih mencintainya Rossa?” potong Alex yang membuatku kembali ragu. “Ya, kurasa aku masih mencintainya. Kalau nggak, untuk apa aku menunggunya selama hampir tiga tahun.”
“Baiklah kalau begitu, nanti kalau ia memberi kabar akan aku sampaikan kalau kau menunggunya. Selama ini ia selalu berpindah tempat, kami sendiri tidak tahu pasti keberadaannya yang tetap.”
“Bagaimana keadaannya?”
“Aku rasa baik, ia sering mengadakan pameran-pameran bersama seniman-seniman yang lain. Itu menurut ceritanya. Aku sendiri tak tahu pasti karena ia tidak pernah pulang. Ia keras kepala. Ia bilang baru akan pulang kalau sudah sukses, dan itu ditepatinya!”
Aku menelan ludahku yang tiba-tiba terasa kering. “Untuk itu ia memilih meninggalkanku. Ia selalu bilang kalau ingin menjadi pelukis.” ujarku lirih.
“Ia pasti kembali, percayalah! Sekarang kita teruskan rencana kita semula atau... kau sudah tidak berminat lagi melihat kebun bungaku.”
Aku tersenyum mendengar nada suara Alex yang kecewa. Kuraih tangannya dan melangkah masuk. “Tentu saja aku masih ingin melihatnya.” Sambil tertawa kami menuju kebun yang terletak di halaman belakang. Sebuah rumah kaca yang besar membuatku tercengang. Aku tidak mengira kalau kebun Alex sebegini besar dan terdapat macam-macam bunga di dalamnya.
“Wow, besar sekali! Kau benar-benar serius mengeluti bisnis bunga hias ini ya Al!”
“Pasti dong! Sejak dulu aku selalu menyukai tanaman terutama bunga, dan setelah lulus kuliah aku segera mempratekkannya. Hasilnya ya...inilah!”
“Bunga-bunga yang kau bawa setiap malam minggu dulu itu pasti dari sini, iya kan?”
Ia mengangguk. “Sayang Rieska nggak menghargainya,” ujarnya sedih.
“Sudahlah, Al. Kau kan sudah berjanji akan melupakannya, jangan sedih gitu dong! Suatu hari nanti kau pasti akan menemukan seseorang yang akan menggantikan tempatnya di hatimu. Aku yakin itu!”
“Kau benar, untuk apa mengingat masa yang sudah lalu. Sekarang kau boleh melihat-lihat, kalau ada yang kau suka, kau boleh ambil!”
“Sungguh!” teriakku tak percaya. “Wah bunganya cantik-cantik Lex! Kau sendiri yang merawatnya?”
“He-eh, dibantu mama dan dua orang yang bekerja sebagai tukang kebun.”
“Kau kenal Andre di mana?” kata Alex setelah beberapa saat kami hanya diam dan sibuk melihat-lihat bunga-bunga yang ada di sini.
“Kami teman semasa SMU. Oh ya, aku dulu sering kesini, tapi kita tak pernah bertemu.”
“Waktu itu aku sedang kuliah di Bogor dan baru dua tahun ini aku kembali ke sini.”
“Aku sama sekali nggak mengira kalau Andre itu ternyata adikmu. Kalian sama sekali nggak mirip sih, hanya mungkin sifat keras kepala kalian yang sama.”
“Ya, aku juga nggak mengira kalau cowok yang sering kau ceritakan itu adikku. Habis aku kan nggak tahu kalau ternyata adikku itu sudah punya pacar. Terus terang aku bangga sekaligus iri padanya karena ia punya seorang pacar yang cantik dan setia meski ia sudah meninggalkannya hampir tiga tahun.”
Aku membisu mendengar kata-kata Alex. Dan kebisuan itu akhirnya dipecahkan dengan suara guntur yang menggelegar. “Wah, mau hujan nih! Aku harus cepat-cepat pulang!”
“Bagaimana dengan bunganya ? Kamu tidak ingin membawanya pulang?”
Aku menggeleng. “Aku menyukai semua bunga-bunga ini, tapi ada satu yang tidak dapat kutemukan di sini padahal aku ingin sekali memilikinya.”
“Bunga apa itu?”
“Edelweis.”
“Tentu saja bunga itu tidak ada di sini, Ros. Bunga itu tumbuh di gunung dan kita mesti mendaki puncaknya dulu sebelum bisa mengambilnya. Dulu aku pernah mengambilnya sewaktu mendaki bersama kelompok pecinta alam kampus, tapi bunga itu sudah kuberikan pada Rieska.” Ia tertawa pelan. “Pasti sekarang bunga itu sudah masuk tempat sampah. Kau serius ingin bunga itu? Bunga edelwies itu tidak cantik dan harum lho, aku rasa mawar lebih cocok buatmu.”
“Sudah lupakan saja, tadi aku hanya menggodamu kok karena di kebunmu ini ada banyak bermacam bunga, dan aku sengaja mencari bunga yang tidak kau punyai. Yuk, aku pulang dulu!”

Aku tengah belajar di kamar ketika mama tiba-tiba muncul dari balik pintu. “Ada yang mencarimu !” kata mama setengah berteriak untuk mengalahkan suara Jon Bon Jovi dengan lagu Alwaysnya yang sengaja kuputar keras-keras. Aku bangkit dan mematikan tape. Tanpa diberitahupun aku sudah tahu siapa yang datang. Siapa lagi kalau bukan Alex. Selama ini kan hanya dia yang selalu datang kemari selain teman-teman kampusku. Tapi kalau kedatangannya pada jam-jam segini, aku menduga kalau itu Alex. Dan biasanya dugaanku selalu tepat.
“Hallo Al, ada perlu apa mencariku!” tegurku padanya yang sedang berdiri di teras membelakangiku. Lampu teras yang suram membuatku tidak melihat dengan jelas sosoknya. Ia berbalik dan aku terperangah. Ia bukan Alex, tapi ya Tuhan... Andre!
“Selamat malam Rossa,” sapanya lembut.
“Eh... se.. lamat... malam.” Mendadak aku jadi gugup dan tidak tahu apa lagi yang mesti aku katakan. Aku hanya berdiri dan mengawasi setiap detail tubuh Andre. Ia masih tetap jangkung -makanya ia sempat kukira Alex - tubuhnya agak lebih berisi dan lebih coklat. Mungkin karena sering berada di jalanan bersama teman-teman senimannya. Selebihnya ia masih tetap Andre yang dulu. Rambutnya juga tetap terpotong rapi tidak seperti kebanyakan seniman yang biasanya berambut gondrong. Malah Alex yang bukan seniman memanjangkan rambutnya sampai menyentuh tengkuknya. Ah, kenapa aku jadi membandingkan Andre dengan Alex sih!
“Apa kabar Ros?”
“Baik, bagaimana denganmu?” Ya Tuhan, ini pertemuan kami yang pertama sejak tiga tahun berpisah, masa hanya diisi dengan menanyakan kabar masing-masing. Kenapa hubungan kami menjadi kaku begini? Apa waktu bisa merubah hati dan perasaan seseorang?
“Duduk Ndre,” ujarku sambil menyilahkannya duduk di kursi teras.
“Bagaimana kuliahmu?”
“Baik, dan kau... kata Alex kamu sudah sukses dengan pameran lukisanmu.”
“Ya,” sahutnya pelan. “Kata Alex kau dan dia berteman.”
“Kami tidak sengaja bertemu. Karena sama-sama menyukai bunga akhirnya kami berteman. Memangnya kenapa?”
“Oh tidak, tidak apa-apa!” Ia terdiam dan suasana sunyi kembali. Aku mulai tersiksa dengan keadaan seperti ini. Seharusnya kami saling melepas semua kerinduan yang telah terpendam sekian lama ini, tapi yang kami lakukan hanya diam dan terus diam. Seolah kami sudah menjadi asing satu sama lain.
Keesokan harinya aku mampir ke rumah Alex untuk meminta bunga, karena hari ini aku ditugaskan untuk menghias gereja. Andre yang membuka pintu ketika aku mengetuknya.
“Hai, Alex ada?”
“Ia pergi ke Bogor, mengambil bibit bunga.”
“Oh, apa perginya lama?”
“Entah, ia tidak bilang akan pergi berapa lama! Kau hanya ingin... mencari Alex?”
“Sebetulnya iya, karena aku ingin meminta bunga darinya. Ia sudah berjanji kalau aku membutuhkan bunga untuk menghias geraja aku boleh minta padanya. Tapi karena ia nggak ada ya aku pulang saja.”
“Tunggu, kenapa tidak mengambilnya sendiri di kebun. Alex pasti tidak akan keberatan.”
“Tapi... “
“Sini, aku akan mengantarmu ke belakang.”
Sebenarnya aku sudah tahu jalannya, tapi kubiarkan Andre menunjukan jalan untukku. Aku memetik beberapa tangkai bunga mawar putih.
“Kau masih menyukai mawar ya?”
“Ya, karema mawar adalah bunga yang indah dan lagi... apa kau sudah lupa kalau namaku kan berarti bunga mawar.”
Andre tertawa pelan. “Ya, aku ingat.”
Tiba-tiba seorang gadis menerobos masuk dengan bergegas. “Dari mana saja sih kau, Ndre! Kau di cari mamamu tuh!” Kami segera berpaling pada pemilik suara. Dihadapan kami berdiri seorang gadis manis dengan rambut dipotong pendek sebatas bahu. Ia nampak terengah setelah habis berlari-lari. Sekilas aku melihat Andre nampak gugup, tapi ia segera mengatasinya dan mengenalkan kami.
“Rossa, ini Syena. Ia... sepupuku.”
“Oh, hai!” sapaku dan mengulurkan tanganku yang mendadak menjadi dingin dan kaku. Sepupu? Kenapa Alex tidak pernah cerita kalau mereka punya sepupu yang bernama Syena? Ah , sudahlah. Kenapa aku jadi memikirkan hal ini. Toh ini semua tidak ada hubungannya denganku.
Tapi meski sudah kucoba untuk tidak memikirkannya, aku masih juga merasa tidak tenang. Aku jadi malas untuk melakukan apa-apa selain duduk seharian di teras belakang rumahku. Aku hanya mengamati pohon-pohon cemara yang terus meliuk-liuk itu tanpa ekspresi. Langkah-langkah kaki yang mendekatiku pun tidak mampu mengusik perhatianku.
“Kata mamamu sudah beberapa hari ini kamu terus murung seperti ini. Ada apa Rossa?” Suara Alex dekat sekali di telingaku. “Apa kedatangan Andre tidak membuatmu senang? Oh ya, kata Andre kau sudah bertemu dengan Syena. Apa kemurungan ini disebabkan olehnya? Kau cemburu padanya?” Digenggamnya tanganku lembut. “Ayolah Rossa, masa kau harus cemburu pada sepupu kami itu. Ia datang dari Yogya dan bermaksud hendak menginap di sini beberapa hari.”
Aku mendongak menatap Alex. “Aku tidak cemburu padanya. Hubungan kami sudah retak sebelum aku bertemu dengan Syena. Ada yang salah dalam hubungan kami Al, dan aku tidak tahu yang salah itu apa.”
“Mungkin karena kalian sudah lama tidak bertemu, dan kalian butuh waktu untuk saling menyesuaikan diri lagi. Percayalah, semua akan beres kalau kalian mau saling mengerti dan bersama-sama memperbaiki hubungan kalian.” Aku tidak percaya yang dikatakan Alex itu benar, tapi saat ini hanya itu yang bisa membuatku sedikit merasa tenang.

“Rossa, ada telepon!” seru mama dari ruang tengah. “Dari Alex!”
Aku mengambil gagang telepon itu dari tangan mama. “Selamat ulang tahun.” Suara Alex sudah menggema sebelum aku sempat berkata hallo.
“Terima kasih Al, aku nggak ngira kau ingat ulang tahunku. Padahal aku kan cuma sekilas ngomong soal tanggal lahirku.”
“Tentu saja aku ingat. Soalnya kan ulang tahunmu pas hari Valentine, jadi mengingatnya gampang. Oh ya, Andre sudah ke rumahmu?”
“Belum memangnya kenapa?”
“Lho, apa ia nggak memberimu ucapan selamat? Gimana sih anak ini!”
“Belum, mungkin ia lupa Al! Tidak apa-apa kok!”
“Ya sudah, nanti aku yang bilang sama dia.”
Sorenya Andre datang dengan wajah bengkak dan ada bekas memar di pelipisnya. “Kenapa wajahmu Ndre?”
“Nggak apa-apa, habis jatuh. Cuma memar dikit,” ujar Andre. Ia mengulurkan tangannya yang sejak tadi disembunyikan di belakang tubuhnya. “Ini untukmu, selamat ulang tahun ya. Semoga panjang umur dan sukses selalu!” Aku terbelalak memandang onggokan edelweis yang dibawa Andre.
“Kau nggak suka ya? Tadinya aku mau membawa mawar karena biasanya kan kau suka mawar tapi...”
“Aku suka kok Ndre. Makasih ya?”
Andre sudah hendak melangkah pergi tapi aku berhasil mencegahnya. “Aku ingin bicara denganmu Ndre. Tentang hubungan kita.” Andre menghentikan langkahnya dan menatapku dengan gugup. Aku menggenggam erat edelwies di tanganku berharap disana aku menemukan kekuatan.
“Aku merasa hubungan kita tidak lagi sama seperti dulu. Seperti ada jarak tak terlihat yang membentang diantara kita.”
“Rossa, aku minta maaf...”
“Tidak perlu minta maaf. Nggak ada yang salah. Mungkin waktulah yang sudah mengubah hati dan perasaan kita menjadi beku. Kita seperti dua orang asing yang tidak saling kenal.”
“Rossa sebenarnya ada yang harus kukatakan padamu. Tapi aku takut mengatakannya.”
“Tentang Syena kan? Ia bukan sepupumu, aku sudah menduga hal itu! Kenapa mesti disembunyikan, Ndre?”
“Aku tidak mau menyakitimu. Aku sama sekali tidak menyangka kalau kamu masih menungguku setelah sekian lama. Kupikir kau akan mencari penggantiku karena kau seorang gadis yang cantik yang pasti banyak yang ingin menjadi pacarmu. Ketika aku datang dan Alex bilang kalau kau masih menungguku, aku merasa bersalah dan tidak ingin lebih membuatmu menderita dengan mengatakan kalau kepulanganku ini untuk minta ijin pada orang tuaku untuk menikah dengan Syena.”
Ada yang merebak hangat di susut mataku. “Kalau begitu selamat ya, semoga kalian bahagia!”
Andre menyentuh tanganku lembut. “Sekali lagi aku minta maaf, Rossa.”
“Aku memaafkanmu. Sekarang pergilah, kembalilah pada Syena, ia pasti cemas menunggumu.”
Setelah Andre pulang aku menelepon Alex. “Al, aku ingin bicara. Kita bertemu di rumahku.” Tanpa menunggu jawaban Alex aku segera menutup telepon dan menunggunya di teras. Tak sampai lima menit ia sudah datang dengan nafas terengah-engah. Ia pasti berlari dari rumahnya sehingga bisa sampai dalam waktu lima menit.
“Apa yang akan kamu bicarakan?” tanyanya dengan agak keheranan karena melihatku hanya diam membelakanginya. Aku menunjukkan onggokan edelweis yang sejak tadi kugenggam. “Andre tadi datang memberiku ini.”
“Oh ya, bagus kalau begitu. Bukankah kamu memang ingin edelweis itu?”
Aku menghirup nafas sebelum melanjutkan ucapanku. “Sebenarnya kau yang memberi edelweis ini bukan?”
Aku mendengar Alex tersentak. “Itu tidak benar, Andre sendiri yang...”
“Ia datang karena kau paksa, Al. Kau pergi bukan untuk mencari bibit, tapi untuk mendaki gunung mencari bunga edelweis ini.”
“Rossa aku... “
“Selama ini Andre hanya tahu kalau aku menyukai mawar, dan satu-satunya orang yang tahu aku ingin bunga edelweis adalah kamu.” Melihat Alex tidak menyahut aku kembali meneruskan,”Aku sudah tahu kalau Syena bukan sepupu kalian.”
“Rossa dengar dulu penjelasanku ... “
“Kenapa kau membohongiku, Al? Kau pikir aku akhirnya tidak akan tahu kalau ternyata Andre sudah mengkhianati cinta kami dengan berpura-pura kalau kepulangannya untuk menemuiku, heh!”
“Aku tidak ingin menambah kesedihanmu dengan kenyataan kalau penantianmu hanyalah sia-sia. Aku ingin melihatmu bahagia, itu saja. Selama ini kamu sudah sangat baik padaku dengan bersedia jadi temanku, mendengarkan semua keluhanku dan membantuku melupakan Rieska. Aku ingin membalas semua kebaikanmu padaku.”
“Dengan berbohong?”
“Rossa, maafkan aku. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi ketika Andre datang bersama Syena dan meminta ijin untuk menikahinya. Saat itu aku ingin sekali memukulnya karena sudah menyia-nyiakan seorang gadis yang begitu setia menantinya.”
“Dan kau berhasil memukulnya.”
“Ya... aku sudah tidak bisa menahan emosiku melihat ia sedang asyik dengan Syena sementara kau menunggunya untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Ia benar-benar keterlaluan!” ujarnya dengan kesal.
“Sebenarnya bukan hanya Andre yang telah mengkhianati cinta kami. Tapi aku juga. Aku menyukai bunga edelweis ini karena pada suatu malam aku melihat sebuah sosok yang membawa edelweis dalam dekapannya. Saat itu aku cemburu dan iri pada gadis yang akan menerima bunga itu. Sejak itu setiap malam minggu aku selalu pulang kuliah malam dan menunggu sosok itu lewat dan membayangkan kalau akulah gadis yang akan menerima bunga-bunga yang dibawanya.”
“Rossa...?”
“Kalau sebelum bertemu dengan sosok itu aku selalu merindukan kehadiran Andre, tapi sejak kejadian itu aku tidak lagi teringat padanya. Aku bahkan tidak ingat lagi kenapa aku mesti menunggunya. Untuk apa? Yang hadir dalam mimpiku tidak lagi bayangan Andre melainkan sosok itu. Aku sudah mengkhianati Andre jauh sebelum aku tahu kalau ia juga mengkhianatiku. Karena itu aku tidak kecewa ia datang bukan untukku, aku juga tidak merasa sakit hati kedudukanku dihatinya diganti oleh orang lain.” Aku berpaling pada Alex yang berdiri membelakangiku. Ia nampak sangat tampan di biasi oleh sinar lampu yang temaram. Rambutnya nampak agak berantakan mungkin karena tanpa sadar ia telah mengacak-acaknya, tapi itu malah membuatnya semakin mempesona. Dengan tersemyum aku menyentuh sehelai rambutnya yang jatuh menyentuh kening saat ia menunduk. “Kau ingin tahu siapa sosok itu? Sosok yang telah membuatku melupakan Andre?” bisikku lembut.
“Jika sosok itu adalah aku kau boleh mengatakannya, tapi jika bukan, jangan katakan karena akan membuatku sangat kecewa.” Ia meraih bahuku dan mendekapnya lembut. Aku merasakan suatu kehangatan disana. Kehangatan yang membuatku tidak ingin melepas pelukan itu. “Aku sudah menyukaimu sejak aku melihatmu sedang terpana menatapku. Tapi saat itu aku berpikir kalau kita tidak ditakdirkan untuk bersatu. Kita tidak saling mengenal dan aku juga sudah memiliki Rieska. Tapi takdir itu kemudian bergulir saat kita saling bertabrakan di ujung jalan itu. Kesempatan itu tidak aku sia-siakan. Aku menanyakan namamu dan kitapun berkenalan. Saat itu aku mulai merasa kalau aku mulai mencintaimu tapi takdir berkata lain. Andre datang ditengah-tengah kita dan aku tidak bisa meyingkirkannya karena ia adalah adikku dan kamu mencintainya. Dan sekarang, takdir rupanya berpihak lagi pada kita. Mulai saat ini aku akan selalu membawakan bunga untukmu. Kau mau kan?”
“Terima kasih. Tapi sebenarnya aku sudah punya satu bunga yang abadi. Ia tidak akan pernah kering ataupun layu dan berjuang mengalahkan sang waktu dengan keabadiannya. Aku berharap cinta kitapun demikian. Tidak akan pudar oleh sang waktu.”

Aku melangkah menyusuri lorong gang ini dengan setengah mengumpat kesal karena bulan tidak mau menemaniku malam ini. Dengan tersaruk-saruk aku melangkah lambat-lambat. “Ayolah bulan, datanglah malam ini! Aku ingin melihat cahaya perakmu seperti kemarin.” teriakku pada kegelapan malam. Aku mendongak dan menanti dengan penuh harap munculnya bulan dari balik awan. Tapi bulan tidak mau mendengarku teriakkanku. Aku menunggu beberapa detik lagi sebelum akhirnya melanjutkan perjalananku. Saat akan melangkah, tiba-tiba cahaya perak memancar dari langit dan seketika itu juga aku mendongak kembali. Menikmati keindahan bulan perak yang begitu memukau. Ketika aku berpaling, aku melihat Alex juga tengah menikmati keindahan bulan sambil membawa onggokan mawar jingga. Ia tersenyum dan melangkah mendekatiku. Diserahkannya bunga itu yang kusambut dengan senang hati. “Terima kasih, bunganya indah sekali.”
“Bulan itu indah, juga bunga ini. Tapi dari semuanya itu kaulah yang paling indah.”
Ah, kalau saja ia mengatakan kata cintanya dengan kata yang lain aku tidak akan terharu seperi saat ini. Ia mengandeng tanganku dan kamipun berjalan beriringan menyusuri jalan kenangan kami bersama dengan mawar jinga yang menyeruak harum dalam dekapanku.

0 komentar:

Posting Komentar